Skip to main content

Serpihan Cinta Bunda

B
ayangan itu masih berkelebat dalam pikiranku,  ketika wanita paruh baya itu menyeret laki-laki kecil dan dekil itu dengan paksa.
Uku calak!
Sahut anak itu berteriak sambil mencoba melepaskan genggaman wanita paruh baya tersebut. Namun anak itu tak berdaya melawan cengkraman tangan wanita kekar itu.
Ko coa nurut ngan indoak nu, uku melipai ko be. Ujar wanita itu dengan beringas.
Di tangan wanita itu terdapat mangkuk kosong yang sudah renyot dan kotor. Dengan paksa dia berikan mangkuk tersebut ke tangan anak itu dan menyeret nya hingga sampai di trotoar jalan. Anak tadi masih menangis sejadi-jadinya, namun wanita ini seolah tak punya perasaan tak peduli dengan tangisan anak yang begitu memilukan ini. Entah apa yang terjadi hingga pelipis anak tadi terluka hingga mengucurkan darah segar, anak itu mencari apa yang berada didekatnya untuk menghapus darah yang mengalir dipelipisnya.
Minta sedekahnya pak, saya belum makan hari ini.
Dengan mata menghiba laki-laki kecil itu  berkeliling mencari orang-orang yang peduli dengan ratapannya.
Namun hanya sedikit orang yang perduli dan memberikan recehan seratusan dan ada juga uang limaratus yang bisa dikatakan tak layak untuk dibelanjakan lagi, selebihnya sorotan mata yang tajam dari orang-orang tersebut sambil melambaikan tangan tanpa sepatah katapun, menolak untuk memberi.
Malam telah beranjak, itu artinya tlah tiba waktunya untuk orang-orang harus meninggalkan usahanya sejenak untuk mengistirahatkan jiwa dan tubuhnya dari teriknya siang hari dan kerja keras yang menguras keringat.
Disudut dapur yang kelam hanya diterangi oleh cahaya lampu teplok, dua orang anak dan ibu sedang menikmati makan malamnya dari hasil jerih payah siang tadi, hasil nya hari ini cukup menyenangkan hati ibunya karena tidak seperti biasanya yang hanya mengumpulkan uang tiga ribu perak, tapi hari ini dia bisa mendapatkan uang lima belas ribu rupiah hingga bisa makan cukup enak, ikan asin seperempat harga 1500 perak, dan gulai nangka yang dibelinya diwarung makan di simpang lampu merah tempat anak itu mengemis.
“Bumi pun Berbicara”

Bila tiba masanya
Bumi pun akan bicara

Di punggungku engkau berlari
Ke dalam perutku engkau kembali

Di atasku engkau berjalan dalam kesengangan
Di perutku engkau jatuh dalam kesusahan

Di punggungku engkau tertawa
Di perutku engkau berduka

Di atasku engkau makan yang diharamkan
Di perutku engkau menjadi santapan

Bila tiba waktunya
Bumi pun akan bicara

Di punggungku engkau berjalan dalam kesombongan
Di perutku engkau dihinakan

Di atasku engkau dalam kebersamaan
Di perutku engkau dalam kesendirian

Di punggungku engkau bermandikan cahaya
Di perutku engkau dalam gulita

Di atasku engkau durhaka
Di dalam perutku engkau tersiksa[1]

Malam semakin menunjukkan pekatnya, wanita paruh baya tadi Nampak menyulutkan rokok sambil menyendarkan tubuh dengan satu kaki tertekuk lutut. Wanita itu adalah ibu dari anak kecil itu, yah…terkadang himpitan ekonomi bisa membuat orang menjadi liar dan beringas.
Besok harus lebih banyak lagi dari ini, dengar dak? Ujar wanita itu kepada anaknya yang sedang membereskan bekas makan mereka.
Awu, huh..gis nien sahut anak kecil itu sambil meringis memegangi pelipisnya yang terluka siang tadi.
Ipe gi gis ne? awey o ba coa nurut uku. coa gen caci lak berubat, wanita itu seakan tak merasa salah telah menyakiti anak itu, bahkan bisa lebih dari itu jika anak tersebut tidak mengikuti kehendaknya.
Anak tadi terdiam seakan tak berani berkomentar, ia takut ibunya benar-benar marah kepadanya. Hmm anak itu masih berusia 12 tahun, masa dimana anak-anak larut dalam kasih sayang orang tua dan menikmati bangku sekolah. Tapi di usianya yang masih sangat belia itu ia relakan waktunya untuk mengemis di jalanan dan menghiba mencari orang-orang yang mengerti kondisinya.
 Semenjak ayahnya meninggal akibat korban tabrak lari 4 tahun yang lalu ia, kakak perempuan dan ibunya mulai kehilangan arah, ayahnya yang hanya seorang pedagang ayam keliling harus kehilangan nyawa oleh sopir angkot yang mengemudi secara ugal-ugalan. Akibatnya, kehidupannya kini morat-marit. Anak itu terpaksa putus sekolah, pekerjaan ibunya sebagai buruh cuci tidak dipercaya lagi. Karena suatu ketika ibunya dengan sengaja mencuri uang ditempat ia bekerja.
Mungkin memang benar bahwasanya Kefakiran Itu Mendekati Kekufuran. Bahkan hal yang tak bisa diterima bahwa kakak perempuannya pun di jual kepada om-om hidung belang dan sekarang tidak tahu lagi dimana rimbanya.
Ntah, anak ini tidak tahu kepada siapa ia harus berkeluh kesah. Disatu sisi ia sangat membenci apa yang dilakukan ibunya, namun disisi lain ia tak punya keluarga lain selain ibunya, dia yakin bahwa ibunya terpaksa melakukan hal itu. Karena ada pepatah mengatakan “sekuat dan seliar harimau masih punya perasaan cinta dan sayang kepada anaknya”.
Siang yang terik seakan membakar tubuh orang yang lalu lalang, tapi anak itu masih setia berada diperempat lampu merah  menunggu mobil yg berhenti. Hari-hari begini biasanya ramai karena banyak pegawai pulang dari kantor dan anak-anak pulang dari sekolah.
Krucuk..krucuk.. bunyi perutnya seakan meminta diisi, anak itu memegangi perutnya yang lapar sambil melihat ke mangkuk yang ada ditangannya. Dia berharap ada beberapa koin  yang dapat mengganjal perutnya.namun kosong!!
Ia memandang warung mie ayam di seberang jalan, seorang ibu sedang menyuapi anaknya, hmm cukup membuatnya menelan air liur..dia berpikir seandainya ia punya ibu seperti itu, dia seakan hanyut dalam lamunan dan bayangan , seandainya…seandainya… ya seandainya…
BRAKK!!!
Waktu berlalu bagaikan berlari, tak ku sangka aku dapat melalui semua kejadian pahit itu. Kini aku berada dihadapan wanita paruh baya itu, namun sungguh berbeda tangannya yang dulu kekar kini semakin lemah dan tak berdaya. Rambutnya yg dulu hitam dan panjang kini memutih, dan kerut diwajahnyapun semakin nampak.
Ibu...jawabku lirih.
Setitik demi setitik airmata jatuh dari retina mataku, tak kusangka aku tega meninggalkannya selama 15 tahun setelah kecelakaan itu,,
Kecelakaan itu membuat aku bertemu dengan keluarga baik hati yang mau menolongku, bayangan itu kembali berkelebat ketika dengan berat aku mengatakan bahwa aku sebatangkara ketika bapak dan ibu baik hati itu bertanya padaku, hingga akhirnya mereka bersedia untuk menjadi orang tua angkatku, menyekolahkan aku hingga aku lulus SMK, dan akhirnya dengan tekad yg bulat aku teruskan ke perguruan tinggi negeri, alhamdulillah dengan kerja kerasku aku bisa mendapatkan beasiswa hingga tidak lagi merasa membebani keluarga itu.
Beberapa tahun lamanya aku melupakan wanita paruh baya ini, arrrggh rasanya hati ini sakit ketika membayangkannya, yah... meski dia bukan ibu yang baik bagiku, tapi kesalahanku lah hingga aku menelantarkannya, ibu yang tlah melahirkanku dengan mempertaruhkan jiwa dan raganya.
Aku teringat kajian dengan ustadz Ahmad minggu lalu tentang birrul walidain, hingga inilah menjadi alasanku untuk kembali kekota kelahiranku hanya ingin bertemu dengannya, karena tak ingin menjadi alqamah ataupun malinkundang edisi modern. dan aku bersyukur karena Allah masih memberikan kesempatan kepadaku untuk memandangi wajah yg 15 tahun lamanya tak aku temui.
Aku tapakkan kakiku didepan rumah reyot yang diapit oleh bangunan megah, tanpa berpikir panjang aku mengucap salam dan masuk. Untung aku bertemu dengan bi siti,tetanggaku yang masih setia merawat ibu, beliau begitu terpeeranjat ketika aku mengatakan bahwa aku adalah Ilham. Dengan suara tertahan beliau bercerita tentang kondisi ibu setelah kepergianku, aku menangis ketika mendengar ternyata ibu sangat merindukanku dan senantiasa menantiku didepan pintu. Menanti kedatanganku hingga ia jatuh sakit!
Hari ini adalah hari pernikahanku, alhamdulillah aq dapat meminang gadis berjilbab rapi itu, ya dia adalah anak bungsu pak Hanafi, keluarga baik hati yang menolongku dari kecelakaan maut tersebut. Gadis yang selama ni hanya aq kagumi itu sekarang telah menjadi bidadari yang akan menghiasi rumah kami, huffftt syukurku padamu ya robb!!, Namun  tak hanya itu akhirnya aq dapat membuat wajah itu tersenyum menyaksikanku.
Dengan suara serak tertahan, aq berkata lirih “ibu aq tak akan menyiakanmu”...
-The end-

Thanks for my sohib, dah kasih puisi ni..^_^



Comments

Popular posts from this blog

ID Card Pesantren Kilat

assalamu'alaikum sobat, lagi-lagi ane dititahkan untuk ngedesain Id card buat pesantren kilat..#cieh kayak kerajaan# it's okay cz masalah ngedesain tu hobi ane tu meski yaaa...aca kadul kesannya nggak bagus2 amat, hehe masih mending lah daripada nggak ada sama sekali. ini dia, eng tereeeenggg.. setelah diedit disana-sini waktu diprint huahhh..lumayan buram! ahehe tapi karena mo dipake besok ya sudah mau tidak mau akhirnya ini di print juga.. hmm ya segitu dulu ceritanya.. Met menunaikan ibadah puasa sobat semoga ramadhan tahun ini lebih baik dari tahun kemaren :D AMIN...

YANG KE-26 (kejutan pertama dari khadijah)

Hari berganti begitu cepat ya, nggak kerasa usia udah semakin tua aja, tak bisa dipungkiri! namun harus selalu bersyukur atas segenap usia yang telah Allah karuniakan kepadaku, setiap tarikan nafas dan udara yang Allah kasih dg cuma-cuma, orang-orang disekitarku yang begitu perhatian, mak dan bakku atas cinta yang tak pernah mereka ungkapkan, namun aku meraasaknnya dan berharap bisa membahagiakan mereka hingga yaumil akhir nanti..keluarga  besarku yang tak bisa ku sebut satu persatu #cekile gaya kayak bikin persembahan skripsi aja# sahabat-sahabatku dan tentunya siswa-siswiku yang sudah memberikan perhatian dan kejutan yang luar biasa... VII Khadijah-ku Alhamdulillah sekarang jadi wali kelas VII khadijah, punya anak 28 orang dengan berbagai karakter yang jelas sholeha dan baik hati serta rajin menabung hehe. pada hari itu mereka buat kejutan yang nggak mengejutkan, loh? hihi cz udah tahu bakal di kerjain dengan modal GR tingkat tinggi haha,  liat mereka ekting...

Akhwat yang menanti

Oleh : Azimah Rahayu. “Dua puluh satu kali, Mbak?”  mataku membulat. Takjub. Aku merentangkan kesepuluh jari tangan sambil melihat ke bawah ke arah telapak kaki yang terbungkus sepatu. 21! Bahkan seluruh jemari tangan dan kakiku pun tak cukup buat menghitungnya. “Itu selama berapa tahun, Mbak?” Aku bertanya lebih lanjut. “Hhmm, kurang lebih tujuh tahun terakhir!” sambutnya gi, ringan saja. Tak tampak pada raut wajahnya yang sudah mulai dihiasi kerut halus kesan malu, tertekan taupun stress. Wajah itu damai. Wajah itu tenang. Tak menyembunyikan luka apalagi derita. “Mbak… ehmm, maaf, tidak patah arang… sekian kali gagal?” Takut takut aku kembali bertanya dengan nada irih. Khawatir menyinggung perasaannya. Dia hanya kembali tersenyum. Tapi kali ini lebih lebar. Sumringah. Dia mengibaskan tangan, sebagai jawaban bahwa dia tak trauma dengan masalah itu. “Kalau sedih, kecewa, terluka… pasti pernah lah ada saat-saat seperti itu. Trauma…. sebenarnya pernah juga. Ny...