Skip to main content

INOK (Cerpen Islamiku yang pertama yang belum beruntung) ^_^




Bayangan itu masih berkelebat,  ketika wanita paruh baya itu menyeret laki-laki kecil dan dekil itu dengan paksa.
”Uku calak”, sahut anak itu berteriak sambil mencoba melepaskan genggamannya. Namun anak itu tak berdaya melawan cengkraman tangan wanita kekar itu.
“Ko coa nurut ngen inok nu, uku melipai ko be” Ujar wanita itu dengan beringas.
Di tangan wanita itu terdapat mangkuk kosong yang sudah renyot dan kotor. Dengan paksa dia berikan mangkuk tersebut ke tangan anak itu dan menyeret nya hingga sampai di trotoar jalan. Anak tadi masih menangis sejadi-jadinya, namun wanita ini seolah tak punya perasaan dan tak peduli dengan tangisan anak yang begitu memilukan ini. Entah apa yang terjadi hingga membuat pelipis anak tadi terluka hingga mengucurkan darah segar. Si anak mencari sesuatu yang berada didekatnya untuk menghentikannya.
Beberapa jam kemudian,
“Minta sedekahnya pak, saya belum makan hari ini”.
Dengan mata menghiba laki-laki kecil itu  berkeliling mencari orang-orang yang peduli dengan ratapannya.
Namun hanya sedikit orang saja yang perduli dan memberikan recehan seratusan dan ada juga uang limaratus yang bisa dikatakan tak layak untuk dibelanjakan lagi, selebihnya sorotan mata yang tajam dari orang-orang tersebut sambil melambaikan tangan tanpa sepatah katapun, menolak untuk memberi!
Malam telah menjelang, tiba waktunya bagi orang-orang harus meninggalkan usahanya sejenak untuk mengistirahatkan jiwa dan tubuhnya dari teriknya siang hari dan kerja keras yang menguras keringat.
Disudut dapur yang kelam hanya diterangi oleh cahaya lampu teplok, dua orang anak dan ibu sedang menikmati makan malamnya dari hasil jerih payah tadi siang. Hasil nya hari ini cukup menyenangkan hati ibunya karena tidak seperti hari-hari biasa ketika si anak hanya bisa mengumpulkan uang tiga ribu perak, tapi hari ini dia bisa mendapatkan uang lima belas ribu hingga bisa makan cukup enak, ikan asin seperempat harga 1500 perak dan gulai nangka yang dibelinya diwarung makan di simpang lampu merah tempat anak itu mengemis.

“Bumi pun Berbicara”

Bila tiba masanya
Bumi pun akan bicara

Di punggungku engkau berlari
Ke dalam perutku engkau kembali

Di atasku engkau berjalan dalam kesengangan
Di perutku engkau jatuh dalam kesusahan

Di punggungku engkau tertawa
Di perutku engkau berduka

Di atasku engkau makan yang diharamkan
Di perutku engkau menjadi santapan

Bila tiba waktunya
Bumi pun akan bicara

Di punggungku engkau berjalan dalam kesombongan
Di perutku engkau dihinakan

Di atasku engkau dalam kebersamaan
Di perutku engkau dalam kesendirian

Di punggungku engkau bermandikan cahaya
Di perutku engkau dalam gulita

Di atasku engkau durhaka
Di dalam perutku engkau tersiksa

Malam semakin menunjukkan pekatnya, wanita paruh baya tadi Nampak menyulutkan rokok sambil menyendarkan tubuh dengan satu kaki tertekuk lutut. Wanita itu adalah ibu dari anak kecil itu, yah terkadang himpitan ekonomi bisa membuat orang menjadi liar dan beringas.
“Besok harus lebih banyak lagi dari ini, dengar coa?” Ujar wanita itu kepada anaknya yang sedang membereskan bekas makan mereka.
“Au, huh…gis nien” sahut anak kecil itu sambil meringis memegangi pelipisnya yang terluka. Sepertinya luka tersebut memberikan dampak yang besar terhadap pendapatannya hari ini. Seorang ibu baik hati sengaja menghampiri si anak dan memberi 2 lembar uang lima ribuan kepadanya dengan wajah penuh empati. Ah…seandainya banyak manusia yang berhati malaikat seperti beliau tentu hidup ini akan begitu damai.
“Ipe gi gis ne? awey o ba coa nurut uku. coa gen caci ite lak berubat” wanita itu mengompres luka sang anak dengan kasar hingga membuat anak tersebut mengaduh berkali-kali. Seolah-olah tak merasa bersalah telah menyakiti anak tersebut bahkan ia bisa berbuat lebih dari itu jika anak tersebut tidak mengikuti kehendaknya.
Anak tadi terdiam seakan tak berani berkomentar, ia takut ibunya benar-benar marah kepadanya. Hm…anak itu masih berusia 12 tahun, masa dimana anak-anak larut dalam kasih sayang orang tua dan menikmati bangku sekolah. Tapi di usianya yang masih sangat belia itu ia relakan waktunya untuk mengemis di jalanan dan menghiba mencari orang-orang yang mengerti kondisinya.
 Dulu kehidupannya tidaklah begitu memprihatinkan. Meski bukan keluarga yang berkecukupan namun cukup bahagia. Apalagi ketika ayahnya masih hidup. Saat hari libur ayah sering mengajak mereka jalan-jalan ke suban air panas, danau mas, memetik buah strawberry di kebun dan tempat wisata lainnya di kota kecil yang di cintai ini. Walaupun hanya bermodalkan sepeda ontel kesayangan ayah. itulah ayah, selalu tahu cara membahagiakan anaknya.
Curup Kota idaman begitulah semboyan kota kecil ini, salah satu daerah di provinsi kota Bengkulu ini dikenal dengan kota yang gemahripahlojinawi, suasana alam yang masih asri dan dikelilingi pengunungan dan bukit yang tertata indah. Kearifan lokal budaya daerah masih begitu kentara meski tlah dihuni berbagai macam suku dan budaya. Mereka bisa hidup berdampingan dengan harmoni. Itulah keindahan kota ini membuat kita bertasbih berkali-kali menyaksikan kauniyahNYA.
Namun semua berubah, semenjak ayahnya meninggal akibat korban tabrak lari 4 tahun silam. Ia, kakak perempuan dan ibunya mulai kehilangan arah. Ayahnya yang hanya seorang pedagang ayam keliling harus kehilangan nyawa oleh sopir angkot yang mengemudi secara ugal-ugalan. Akibatnya, kehidupan mereka kini morat-marit. Anak itu terpaksa putus sekolah, pekerjaan ibunya sebagai buruh cuci tidak dipercaya lagi. Karena suatu ketika ibunya kedapatan mencuri uang ditempat ia bekerja. Bahkan hal yang tak bisa diterima bahwa kakak perempuannya pun di jual kepada om-om hidung belang dan sekarang tidak tahu lagi dimana rimbanya. Mungkin memang benar bahwasanya Kefakiran Itu Mendekati Kekufuran.
Ntah kepada siapa ia harus berkeluh kesah. Disatu sisi ia sangat membenci apa yang dilakukan ibunya, namun disisi lain ia tak punya keluarga lain selain ibunya, dia yakin bahwa ibunya terpaksa melakukan hal itu. Karena ada pepatah mengatakan “sekuat dan seliar harimau masih punya perasaan cinta dan sayang kepada anaknya”.
Siang yang terik seakan membakar tubuh orang yang lalu lalang, tapi anak itu masih setia berada diperempat lampu merah  menunggu mobil yg berhenti. Hari-hari begini biasanya ramai karena banyak pegawai pulang dari kantor dan anak-anak pulang dari sekolah. Krucuk..krucuk.. bunyi perutnya seakan meminta diisi. Anak itu memegangi perutnya yang lapar sambil melihat ke mangkuk yang ada ditangannya. Dia berharap ada beberapa koin yang dapat mengganjal perutnya, namun kosong!
Ia memandang warung mie ayam di seberang jalan, seorang ibu sedang menyuapi anaknya, hm…cukup membuatnya menelan ludah, dia berpikir seandainya ia punya ibu seperti itu, seandainya…seandainya… ya seandainya. Dia seakan hanyut dalam lamunan dan…
Brakk!!!
Darah segar mengalir menganak sungai sepanjang jalan raya. Orang-orang berhamburan menuju lokasi. Beberapa waktu kemudian mobil putih bersuara nyaring menyibak keramaian dan menurunkan beberapa orang berseragam putih-putih dan membawa jasad kecil yang ringkih itu.
***
Aku tersentak disaat supir travel itu mengingatkan bahwa sebentar lagi akan memasuki wilayah Rejang Lebong. Aku mengangguk dan segera bersiap-siap serta mengenakan jaket coklatku.
 Waktu berlalu bagaikan berlari, telah lama rupanya aku meninggalkan kota ini. Terbersit rasa rindu yang mendalam, sedalam rasa rinduku kepada sosok yang tlah lama tak ku jumpai itu. Aku tapakkan kakiku ditanah pat petulai ini. Curup masih seperti yang dulu tak banyak berubah udaranya yang dingin menyergap tubuhku ditambah dengan Hujan lebat yang membuat darah serasa beku. Kembali teringat memori masa silam ketika aku melonjak-lonjak kegirangan dibawah rinai hujan yang hampir setiap hari turun dikota ini.
Sejenak aku pandangi rumah reyot yang diapit oleh bangunan megah. Dengan ragu aku mengucap salam namun tak ada jawaban. Mungkin sudah pindah, batinku. Aku pun berbalik arah, namun baru beberapa langkah aku menjauhi pintu terdengar jawaban salam dari dalam. Tak kusangka sosok yang ku kenal keluar dari pintu rumah. Dengan serta merta aku berteriak “Ayuk…
Tangis bahagia tercipta disemburat wajahku ditengah tangisan dari langit. Bahagia karena menyadari bahwa kakak perempuanku tlah kembali dan selamat dari peristiwa yang menyeramkan itu. Beliaulah yang selama ini mengurus ibu sepeninggalanku.
Dengan suara sendu beliau bercerita tentang kondisi ibu setelah kepergianku. Aku menangis ketika mendengar ternyata ibu sangat merindukanku dan senantiasa menantiku didepan pintu. Menanti kedatanganku hingga beliau jatuh sakit.
***
Kini aku berada dihadapan wanita paruh baya itu, namun sungguh berbeda. Tangannya yang dulu kekar kini semakin lemah dan tak berdaya. Rambutnya yg dulu hitam dan panjang kini memutih dan kerut diwajahnya pun semakin nampak.
“Inok...” Ucapku lirih.
Setitik demi setitik airmata jatuh dari retina mataku, tak kusangka aku tega meninggalkannya selama 15 tahun setelah kecelakaan itu.
Kecelakaan itu membuat aku bertemu dengan keluarga baik hati yang mau menolongku. Bayangan itu kembali muncul ketika dengan berat aku mengatakan bahwa aku sebatangkara ketika bapak dan ibu baik hati itu bertanya padaku, hingga akhirnya mereka bersedia untuk menjadi orang tua angkatku, menyekolahkan aku hingga aku lulus SMK dan akhirnya dengan tekad yg bulat aku teruskan ke perguruan tinggi negeri Alhamdulillah dengan kerja kerasku aku bisa mendapatkan beasiswa hingga tidak lagi merasa membebani keluarga itu.
Beberapa tahun lamanya aku melupakan wanita paruh baya ini, arrrggh rasanya hati ini sakit ketika membayangkannya, yah... meski dia bukan ibu yang baik bagiku, tapi kesalahanku lah hingga aku menelantarkannya, ibu yang tlah melahirkanku dengan mempertaruhkan jiwa dan raganya. Ntahlah mungkin saat itu begitu dalam kebencian ku pada ibu, tak ada rasa cinta meski satu serpihpun. 
Aku teringat kajian dengan ustadz Ahmad minggu lalu tentang birrul walidain, hingga inilah menjadi alasanku untuk kembali kekota kelahiranku hanya ingin bertemu dengannya karena tak ingin menjadi alqamah ataupun malinkundang edisi modern. Aku bersyukur karena Allah masih memberikan kesempatan kepadaku untuk memandangi wajah yg 15 tahun lamanya tak aku temui ini.
***
Hari ini adalah hari pernikahanku. Alhamdulillah aku dapat meminang gadis berjilbab rapi itu. Dia adalah anak bungsu pak Hanafi, keluarga baik hati yang menolongku dari kecelakaan maut tersebut. Gadis yang selama ini hanya aku kagumi itu sebentar lagi akan menjadi bidadari yang akan menghiasi rumah kami. Alhamdulillah syukurku padamu ya robb. Tak hanya itu, akhirnya aku dapat membuat wajah itu tersenyum menyaksikanku dihari bahagia ini. Terduduk aku dihadapan raganya yang sudah mulai renta itu, sujud dihadapannya. Lagi-lagi  bulir air hangat ini jatuh menganak sungai, inok oh inok serpihan cintaku padamu ini telah kembali, terimalah… jeritku dalam hati.
Dengan suara serak tertahan, aku berkata lirih, “Maafkan uku inok, uku janjei coa sio-siokan kumu igei”. Ya aku berjanji akan membahagian ketiganya ibu, kakak dan tentu saja seorang wanita spesial yang kini menjadi belahan jiwaku.
-The end-
 
 NOTE
Inok                : ibu
Uku calak!     : Tidak mau
Ko coa nurut ngen inok nu, uku melipai ko be: kamu tidak mau nurut dengan ibumu, nanti aku pukul kau.
Au, huh…gis nien : iya.. aduh sakit sekali
Ipe gi gis ne? awey o ba coa nurut uku. coa gen caci ite lak berubat : yang mana yang sakit? Seperti itulah kalau kau tidak nurut. Nggak ada uang untuk berobat.
Maafkan uku inok, uku janjei coa sio-siokan kumu igei: maafkan aku bu, aku janji tak akan sia-siakan ibu lagi
Ayuk               : panggilan untuk kakak perempuan                              

Comments

Popular posts from this blog

ID Card Pesantren Kilat

assalamu'alaikum sobat, lagi-lagi ane dititahkan untuk ngedesain Id card buat pesantren kilat..#cieh kayak kerajaan# it's okay cz masalah ngedesain tu hobi ane tu meski yaaa...aca kadul kesannya nggak bagus2 amat, hehe masih mending lah daripada nggak ada sama sekali. ini dia, eng tereeeenggg.. setelah diedit disana-sini waktu diprint huahhh..lumayan buram! ahehe tapi karena mo dipake besok ya sudah mau tidak mau akhirnya ini di print juga.. hmm ya segitu dulu ceritanya.. Met menunaikan ibadah puasa sobat semoga ramadhan tahun ini lebih baik dari tahun kemaren :D AMIN...

YANG KE-26 (kejutan pertama dari khadijah)

Hari berganti begitu cepat ya, nggak kerasa usia udah semakin tua aja, tak bisa dipungkiri! namun harus selalu bersyukur atas segenap usia yang telah Allah karuniakan kepadaku, setiap tarikan nafas dan udara yang Allah kasih dg cuma-cuma, orang-orang disekitarku yang begitu perhatian, mak dan bakku atas cinta yang tak pernah mereka ungkapkan, namun aku meraasaknnya dan berharap bisa membahagiakan mereka hingga yaumil akhir nanti..keluarga  besarku yang tak bisa ku sebut satu persatu #cekile gaya kayak bikin persembahan skripsi aja# sahabat-sahabatku dan tentunya siswa-siswiku yang sudah memberikan perhatian dan kejutan yang luar biasa... VII Khadijah-ku Alhamdulillah sekarang jadi wali kelas VII khadijah, punya anak 28 orang dengan berbagai karakter yang jelas sholeha dan baik hati serta rajin menabung hehe. pada hari itu mereka buat kejutan yang nggak mengejutkan, loh? hihi cz udah tahu bakal di kerjain dengan modal GR tingkat tinggi haha,  liat mereka ekting...

Akhwat yang menanti

Oleh : Azimah Rahayu. “Dua puluh satu kali, Mbak?”  mataku membulat. Takjub. Aku merentangkan kesepuluh jari tangan sambil melihat ke bawah ke arah telapak kaki yang terbungkus sepatu. 21! Bahkan seluruh jemari tangan dan kakiku pun tak cukup buat menghitungnya. “Itu selama berapa tahun, Mbak?” Aku bertanya lebih lanjut. “Hhmm, kurang lebih tujuh tahun terakhir!” sambutnya gi, ringan saja. Tak tampak pada raut wajahnya yang sudah mulai dihiasi kerut halus kesan malu, tertekan taupun stress. Wajah itu damai. Wajah itu tenang. Tak menyembunyikan luka apalagi derita. “Mbak… ehmm, maaf, tidak patah arang… sekian kali gagal?” Takut takut aku kembali bertanya dengan nada irih. Khawatir menyinggung perasaannya. Dia hanya kembali tersenyum. Tapi kali ini lebih lebar. Sumringah. Dia mengibaskan tangan, sebagai jawaban bahwa dia tak trauma dengan masalah itu. “Kalau sedih, kecewa, terluka… pasti pernah lah ada saat-saat seperti itu. Trauma…. sebenarnya pernah juga. Ny...