Bayangan itu masih
berkelebat, ketika wanita paruh baya itu
menyeret laki-laki kecil dan dekil itu dengan paksa.
”Uku calak”, sahut anak itu berteriak sambil mencoba melepaskan genggamannya.
Namun anak itu tak berdaya melawan cengkraman tangan wanita kekar itu.
“Ko coa nurut ngen inok nu, uku melipai ko be” Ujar wanita itu dengan beringas.
Di
tangan wanita itu terdapat mangkuk kosong yang sudah renyot dan kotor. Dengan
paksa dia berikan mangkuk tersebut ke tangan anak itu dan menyeret nya hingga
sampai di trotoar jalan. Anak tadi masih menangis sejadi-jadinya, namun wanita
ini seolah tak punya perasaan dan tak peduli dengan tangisan anak yang begitu
memilukan ini. Entah apa yang terjadi hingga membuat pelipis anak tadi terluka hingga
mengucurkan darah segar. Si anak mencari sesuatu yang berada didekatnya untuk
menghentikannya.
Beberapa jam
kemudian,
“Minta sedekahnya pak, saya belum makan hari ini”.
Dengan
mata menghiba laki-laki kecil itu berkeliling mencari orang-orang yang peduli
dengan ratapannya.
Namun
hanya sedikit orang saja yang perduli dan memberikan recehan seratusan dan ada
juga uang limaratus yang bisa dikatakan tak layak untuk dibelanjakan lagi,
selebihnya sorotan mata yang tajam dari orang-orang tersebut sambil melambaikan
tangan tanpa sepatah katapun, menolak untuk
memberi!
Malam telah menjelang, tiba waktunya bagi orang-orang harus meninggalkan usahanya sejenak untuk mengistirahatkan
jiwa dan tubuhnya dari teriknya siang hari dan kerja keras yang menguras
keringat.
Disudut dapur yang kelam hanya diterangi oleh cahaya
lampu teplok, dua orang anak dan ibu sedang menikmati makan malamnya dari hasil
jerih payah tadi siang. Hasil nya hari ini cukup menyenangkan hati ibunya
karena tidak seperti hari-hari biasa ketika si anak hanya bisa mengumpulkan
uang tiga ribu perak, tapi hari ini dia bisa mendapatkan uang lima belas ribu hingga
bisa makan cukup enak, ikan asin seperempat harga 1500 perak dan gulai nangka
yang dibelinya diwarung makan di simpang lampu merah tempat anak itu mengemis.
“Bumi pun Berbicara”
Bila tiba masanya
Bumi pun akan bicara
Di punggungku engkau berlari
Ke dalam perutku engkau kembali
Di atasku
engkau berjalan dalam kesengangan
Di perutku engkau jatuh dalam kesusahan
Di punggungku engkau tertawa
Di perutku engkau berduka
Di atasku engkau makan yang diharamkan
Di perutku engkau menjadi santapan
Bila tiba waktunya
Bumi pun akan bicara
Di punggungku engkau berjalan dalam kesombongan
Di perutku engkau dihinakan
Di atasku engkau dalam kebersamaan
Di perutku engkau dalam kesendirian
Di punggungku engkau bermandikan cahaya
Di perutku engkau dalam gulita
Di atasku engkau durhaka
Di dalam perutku engkau tersiksa
Malam
semakin menunjukkan pekatnya, wanita paruh baya tadi Nampak menyulutkan rokok
sambil menyendarkan tubuh dengan satu kaki tertekuk lutut. Wanita itu adalah
ibu dari anak kecil itu, yah terkadang himpitan ekonomi bisa membuat orang menjadi
liar dan beringas.
“Besok harus lebih banyak lagi dari ini,
dengar coa?” Ujar wanita itu
kepada anaknya yang sedang membereskan bekas makan mereka.
“Au, huh…gis nien” sahut anak kecil itu sambil meringis memegangi pelipisnya yang
terluka. Sepertinya luka tersebut memberikan dampak yang besar terhadap
pendapatannya hari ini. Seorang ibu baik hati sengaja menghampiri si anak dan
memberi 2 lembar uang lima ribuan kepadanya dengan wajah penuh empati. Ah…seandainya
banyak manusia yang berhati malaikat seperti beliau tentu hidup ini akan begitu
damai.
“Ipe gi gis ne? awey o ba coa nurut
uku. coa gen caci ite lak berubat” wanita itu
mengompres luka sang anak dengan kasar hingga membuat anak tersebut mengaduh
berkali-kali. Seolah-olah tak merasa bersalah telah menyakiti anak tersebut
bahkan ia bisa berbuat lebih dari itu jika anak tersebut tidak mengikuti
kehendaknya.
Anak
tadi terdiam seakan tak berani berkomentar, ia takut ibunya benar-benar marah
kepadanya. Hm…anak itu masih berusia 12 tahun, masa dimana anak-anak larut
dalam kasih sayang orang tua dan menikmati bangku sekolah. Tapi di usianya yang
masih sangat belia itu ia relakan waktunya untuk mengemis di jalanan dan
menghiba mencari orang-orang yang mengerti kondisinya.
Dulu kehidupannya tidaklah begitu
memprihatinkan. Meski bukan keluarga yang berkecukupan namun cukup bahagia.
Apalagi ketika ayahnya masih hidup. Saat hari libur ayah sering mengajak mereka
jalan-jalan ke suban air panas, danau mas, memetik buah strawberry di kebun dan
tempat wisata lainnya di kota kecil yang di cintai ini. Walaupun hanya
bermodalkan sepeda ontel kesayangan ayah. itulah ayah, selalu tahu cara
membahagiakan anaknya.
Curup
Kota idaman begitulah semboyan kota kecil ini, salah satu daerah di provinsi
kota Bengkulu ini dikenal dengan kota yang gemahripahlojinawi, suasana alam
yang masih asri dan dikelilingi pengunungan dan bukit yang tertata indah.
Kearifan lokal budaya daerah masih begitu kentara meski tlah dihuni berbagai
macam suku dan budaya. Mereka bisa hidup berdampingan dengan harmoni. Itulah
keindahan kota ini membuat kita bertasbih berkali-kali menyaksikan kauniyahNYA.
Namun
semua berubah, semenjak ayahnya meninggal akibat korban tabrak lari 4 tahun
silam. Ia, kakak perempuan dan ibunya mulai kehilangan arah. Ayahnya yang hanya
seorang pedagang ayam keliling harus kehilangan nyawa oleh sopir angkot yang
mengemudi secara ugal-ugalan. Akibatnya, kehidupan mereka kini morat-marit.
Anak itu terpaksa putus sekolah, pekerjaan ibunya sebagai buruh cuci tidak
dipercaya lagi. Karena suatu ketika ibunya kedapatan mencuri uang ditempat ia
bekerja. Bahkan hal yang tak bisa diterima bahwa kakak perempuannya pun di jual
kepada om-om hidung belang dan sekarang tidak tahu lagi dimana rimbanya. Mungkin
memang benar bahwasanya Kefakiran Itu Mendekati Kekufuran.
Ntah
kepada siapa ia harus berkeluh kesah. Disatu sisi ia sangat membenci apa yang
dilakukan ibunya, namun disisi lain ia tak punya keluarga lain selain ibunya,
dia yakin bahwa ibunya terpaksa melakukan hal itu. Karena ada pepatah
mengatakan “sekuat dan seliar harimau masih punya perasaan cinta dan sayang
kepada anaknya”.
Siang
yang terik seakan membakar tubuh orang yang lalu lalang, tapi anak itu masih
setia berada diperempat lampu merah
menunggu mobil yg berhenti. Hari-hari begini biasanya ramai karena
banyak pegawai pulang dari kantor dan anak-anak pulang dari sekolah. Krucuk..krucuk.. bunyi perutnya seakan
meminta diisi. Anak itu memegangi perutnya yang lapar sambil melihat ke mangkuk
yang ada ditangannya. Dia berharap ada beberapa koin yang dapat mengganjal
perutnya, namun kosong!
Ia
memandang warung mie ayam di seberang jalan, seorang ibu sedang menyuapi
anaknya, hm…cukup membuatnya menelan ludah, dia berpikir seandainya ia punya
ibu seperti itu, seandainya…seandainya… ya seandainya. Dia seakan hanyut dalam
lamunan dan…
Brakk!!!
Darah
segar mengalir menganak sungai sepanjang jalan raya. Orang-orang berhamburan
menuju lokasi. Beberapa waktu kemudian mobil putih bersuara nyaring menyibak
keramaian dan menurunkan beberapa orang berseragam putih-putih dan membawa
jasad kecil yang ringkih itu.
***
Aku tersentak disaat supir travel itu mengingatkan bahwa
sebentar lagi akan memasuki wilayah
Rejang Lebong. Aku mengangguk dan segera bersiap-siap serta mengenakan jaket coklatku.
Waktu berlalu
bagaikan berlari, telah lama rupanya aku meninggalkan kota ini. Terbersit rasa
rindu yang mendalam, sedalam rasa rinduku kepada sosok yang tlah lama tak ku
jumpai itu. Aku tapakkan kakiku ditanah pat petulai ini. Curup masih seperti
yang dulu tak banyak berubah udaranya yang dingin menyergap tubuhku ditambah
dengan Hujan lebat yang membuat darah serasa beku. Kembali teringat memori masa
silam ketika aku melonjak-lonjak kegirangan dibawah rinai hujan yang hampir
setiap hari turun dikota ini.
Sejenak
aku pandangi rumah reyot yang
diapit oleh bangunan megah. Dengan
ragu aku mengucap salam namun tak ada jawaban. Mungkin sudah pindah, batinku. Aku pun
berbalik arah, namun baru beberapa langkah aku menjauhi pintu terdengar jawaban
salam dari dalam. Tak kusangka sosok yang ku kenal keluar dari pintu rumah.
Dengan serta merta aku berteriak “Ayuk…”
Tangis
bahagia tercipta disemburat wajahku ditengah tangisan dari langit. Bahagia
karena menyadari bahwa kakak perempuanku tlah kembali dan selamat dari
peristiwa yang menyeramkan itu. Beliaulah yang selama ini mengurus ibu
sepeninggalanku.
Dengan suara
sendu beliau bercerita tentang kondisi ibu setelah
kepergianku. Aku menangis ketika mendengar ternyata ibu
sangat merindukanku dan senantiasa menantiku didepan pintu. Menanti
kedatanganku hingga beliau jatuh sakit.
***
Kini aku berada dihadapan wanita paruh baya itu, namun sungguh
berbeda. Tangannya yang dulu kekar kini semakin lemah dan tak berdaya.
Rambutnya yg dulu hitam dan panjang kini memutih dan kerut diwajahnya pun semakin
nampak.
“Inok...” Ucapku lirih.
Setitik demi setitik airmata jatuh dari retina mataku,
tak kusangka aku tega meninggalkannya selama 15 tahun setelah kecelakaan itu.
Kecelakaan itu membuat aku bertemu dengan keluarga baik
hati yang mau menolongku. Bayangan itu kembali muncul ketika dengan berat aku
mengatakan bahwa aku sebatangkara ketika bapak dan ibu baik hati itu bertanya
padaku, hingga akhirnya mereka bersedia untuk menjadi orang tua angkatku,
menyekolahkan aku hingga aku lulus SMK dan akhirnya dengan tekad yg bulat aku
teruskan ke perguruan tinggi negeri Alhamdulillah dengan kerja kerasku aku bisa
mendapatkan beasiswa hingga tidak lagi merasa membebani keluarga itu.
Beberapa tahun lamanya aku melupakan wanita paruh baya
ini, arrrggh rasanya hati ini sakit ketika membayangkannya, yah... meski dia
bukan ibu yang baik bagiku, tapi kesalahanku lah hingga aku menelantarkannya,
ibu yang tlah melahirkanku dengan mempertaruhkan jiwa dan raganya. Ntahlah mungkin saat itu begitu dalam kebencian ku pada ibu, tak ada
rasa cinta meski satu serpihpun.
Aku teringat kajian dengan ustadz Ahmad minggu lalu tentang
birrul walidain, hingga inilah menjadi alasanku untuk kembali kekota
kelahiranku hanya ingin bertemu dengannya karena tak ingin menjadi alqamah ataupun
malinkundang edisi modern. Aku bersyukur karena Allah masih memberikan
kesempatan kepadaku untuk memandangi wajah yg 15 tahun lamanya tak aku temui ini.
***
Hari ini adalah hari pernikahanku. Alhamdulillah aku
dapat meminang gadis berjilbab rapi itu. Dia adalah anak
bungsu pak Hanafi, keluarga baik hati yang menolongku dari kecelakaan maut
tersebut. Gadis yang selama ini hanya aku kagumi itu sebentar lagi akan menjadi
bidadari yang akan menghiasi rumah kami. Alhamdulillah syukurku padamu ya robb. Tak
hanya itu, akhirnya aku dapat membuat wajah itu tersenyum menyaksikanku dihari
bahagia ini. Terduduk aku dihadapan raganya yang sudah mulai renta itu, sujud
dihadapannya. Lagi-lagi bulir air hangat
ini jatuh menganak sungai, inok oh inok serpihan cintaku padamu ini telah
kembali, terimalah… jeritku dalam hati.
Dengan suara serak tertahan, aku berkata lirih, “Maafkan
uku inok, uku janjei coa sio-siokan kumu igei”. Ya aku berjanji akan
membahagian ketiganya ibu, kakak dan tentu saja seorang wanita spesial yang
kini menjadi belahan jiwaku.
-The end-
NOTE
Inok :
ibu
Uku calak! :
Tidak mau
Ko coa nurut ngen inok nu, uku melipai ko be: kamu tidak mau nurut dengan ibumu,
nanti aku pukul kau.
Au, huh…gis nien : iya.. aduh sakit sekali
Ipe gi gis ne? awey o ba coa nurut uku. coa gen
caci ite lak berubat : yang mana yang sakit? Seperti itulah kalau kau
tidak nurut. Nggak ada uang untuk berobat.
Maafkan uku inok, uku janjei coa sio-siokan kumu
igei: maafkan aku bu, aku janji tak akan sia-siakan ibu lagi
Ayuk :
panggilan untuk kakak perempuan
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungannya, silahkan koment :D