Hujan
Akhirnya aku kembali kedunia ini, dunia
kata yang tak pernah luput dari jejak-jejak kehidupan yang akan menjadi
sejarah, setidaknya sejarah untuk diriku sendiri. Saat otakku telah mengalami
jeda yang cukup panjang untuk memikirkan dunia ini. Di saat aku hanya bisa
menikmatinya dan tersenyum bangga karena pernah menggoreskan tinta di atas wall
putih bersih ini. Biarlah kata-kata ini menjadi rangkaian yang menjadi kilas
balik disaat aku butuh mendalami hikmah kehidupan diantara sederet episode yang
DIA rencanakan disaat dulu aku mengadakan perjanjian dengan-Nya, saat ungkapan
indah terlantun dari lisanku yang masih suci dari sekeping dosa :
Alastubirobbikum?
Qolu bala syahidna..
Hujan,
Sudah lama rupanya aku rehat dari
aktivitas ini, jujur saja aku rindu sekali. Disaat ku pandangi rumah kedua ku
ini, akupun tertegun ah mungkin sudah banyak rentetan judul yang memenuhinya
jika aku tetap komit, but aku harus sadar aku kurang profesional menekuni
sesuatu..aha, yang satu ini ternyata belum bisa terlepas dari ragaku yang
ringkih ini. Tetap saja aku tidak boleh begini terus, lihat jariku sudah mulai
kaku di ajak menekan tuts keyboard meski hanya beberapa kata saja. Semangat
donk, celetuk hatiku..tapi..aku bingung aku menuliskan apa?
Hujan,,
Hanya kau yang akhir-akhir ini
menemaniku, di saat sendiri, dalam kesibukanku, pekerjaan yang tak kunjung
beres, hingga aku tertidur pulas.
Hmmm...
Aku tahu apa yang ingin aku ceritakan!
Tentang “sosok emosional itu”, tlah terhitung tahun aku mengenalnya, hanya saja
tak begitu kenal. Atau mungkin perlu beberapa dekade untuk menegenal sesosok
manusia, apalagi bagiku yang memang agak telmi ini huh..selalu..
Hujan...
Terkadang aku jengah dengan sikap
berbantahan, menyulut emosi hingga debat kusir yang tak tahu kemana ujungnya, hanya
untuk perkara kecil yang menjadi lebar, selebar pulau sumatera. Atau hanya aku
saja yang tak pahami kedalamannya yang membuat aku harus mengerti siapa dia?
Haruskah seperti itu sedang dia adalah sosok yang memiliki pikiran yang dapat
di gunakan untuk memperbaikinya.
Hujan...
Aku heran, akankah sebuah keburukan
harus dimaklumi. Setahuku, bukankah ketika tahu keburukan seharusnya kita
perbaiki? bukan juga menuntut seorang bisa sempurna, karena ku tahu kami bukan
manusia, hanya manusia biasa yang di tugaskan sebagai khalifah. Tapi tak layak
rasanya jika kita hanya berlaku sekenaknya sementara kita adalah masterpiece
terbaikNya diantara makhluk-makhluk yang lain. Benar?
Ntahlah apakah ini hanya pikiranku saja
yang terlalu menuntut perfeksionis seperti kebanyakan manusia dengan golongan
darah A lainnya, yang baru-baru ini ditemukan manusia dibalik cherry blossom
itu? Ah peduli apa? Terlalu jauh merujuk kearah situ, sedang agama kita yang
suci tlah sempurna mengajarkan kita dari yang sekelumit hingga sesamudra, terutama tentang menjaga emosi, terngiang di
telingaku saat mulut kecil indi, keponakanku yang baru kelas 1 SDIT dengan
semangat berkomat-kamit ketika mendapatkan hadits baru dari ustadzahnya:
La
taghdob wa lakal jannah, jangan marah bagimu syurga
Hiks...anak seusia itu saja tahu kalo
mau syurga itu harus tahan emosi...
Aku jengah dengan sikap berbantahan,
menyulut emosi hingga debat kusir yang tak tahu kemana ujungnya, hanya untuk
perkara kecil yang menjadi lebar, selebar pulau sumatera.
hahay...seandainya dia bola-bola ubi,
ingin ku lumat saja sekali lumat dan ku telan bersama an dengan air yang ku tenggak.
Tapi sudahlah, ku tak ingin biarkan dirikupun larut dan terseret ke dalam
permainan emosi ini, diam hanya diam yang menyelamatkan.
Lalu sampai berapa lama aku harus
berdiam dan menikmati emosional dari moncongnya yang tak bisa lembut itu. Lagi
dan lagi ku berdo’a padaMU, jika tak mampu dari lisan ini membuatnya lunak, ku
harap ada lisan lain yang mampu menggugahnya, membuat ke-Egoannya luruh bersama
dengan waktu...
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungannya, silahkan koment :D