“Dua puluh satu kali, Mbak?”
mataku membulat. Takjub. Aku merentangkan kesepuluh jari tangan sambil melihat
ke bawah ke arah telapak kaki yang terbungkus sepatu. 21! Bahkan seluruh jemari
tangan dan kakiku pun tak cukup buat menghitungnya. “Itu selama berapa tahun,
Mbak?” Aku bertanya lebih lanjut.
“Hhmm, kurang lebih tujuh tahun terakhir!” sambutnya gi, ringan saja. Tak
tampak pada raut wajahnya yang sudah mulai dihiasi kerut halus kesan malu,
tertekan taupun stress. Wajah itu damai. Wajah itu tenang. Tak menyembunyikan
luka apalagi derita.
“Mbak… ehmm, maaf, tidak patah
arang… sekian kali gagal?” Takut takut aku kembali bertanya dengan nada irih.
Khawatir menyinggung perasaannya. Dia hanya kembali tersenyum. Tapi kali ini
lebih lebar. Sumringah. Dia mengibaskan tangan, sebagai jawaban bahwa dia tak
trauma dengan masalah itu.
“Kalau sedih, kecewa, terluka…
pasti pernah lah ada saat-saat seperti itu. Trauma…. sebenarnya pernah juga. Nyaris putus asa juga pernah. Namun alhamdulillah tidak berlarut-larut.”Mata itu berbinar-binar, seakan
turut bicara.
“Justru, kini saya merasa lebih
dewasa, lebih matang dengan semua kegagalan itu. Banyak sekali pelajaran yang
bsia diambil dari tiap kegagalan itu. Saya menjadi lebih bisa mengerti berbagai
karakter manusia. Saya dapat lebih menghayati realitas dan kuasa Allah atas
hidup kita. Dan pasti jadi lebih banyak pengalaman… setidaknya pengalaman
proses menuju nikah hingga 21 kali..hahaha,” dia tertawa lepas. Renyah. Manis
sekali.
Perempuan itu, kini sudah 30
tahun lewat usianya. Sebuah usia yang tak lagi remaja memang. Sebuah usia yang
sangat wajar dan pantas jika ia resah karena jodoh tak kunjung tiba. Namun ia
tak nampak panik atau gelisah. Bisa jadi ia memang pandai menyembunyikan
perasaannya yang sesungguhnya. Namun saya lebih percaya ketenangannya tumbuh
karena kematangan dan keimanan.
Gadis ini dapat dikatakan
sederhana. Dengan penampilan sederhana pula. Aktifitasnya pun bersahaja
walaupun dulunya dia termasuk aktifis tingkat tinggi. Sehari-hari ia bekerja
sebagai staf pengajar di sebuah lembaga pendidikan. Aktifitasnya yang lain
adalah mengajar TPA, mengikuti pengajian rutin maupun berbagai pengajian umum
yang banyak diselenggarakan oleh berbagai lembaga di berbagai lokasi di
Jakarta.
Selebihnya ia lebih banyak di
rumah. Membaca buku dan membantu mengurus pekerjaan rumah tangga karena Ibunya
tidak memiliki pembantu. “Proses pertama saya jalani ketika saya baru
menyelesaikan kuliah saya. 22 tahun usia saya ketika itu. Waktu itu tentu saja
saya tidak sebersahaja sekarang.” Dia mulai bercerita. Saya menunggu.
“Saya masih ingat sekali. Waktu
itu saya mengajukan berbagai kriteria. Saya ingin calon suami yang sarjana,
pekerjaan mapan, aktifis dakwah atau minimal memiliki pemahaman agama yang
bagus, dari keluarga baik-baik, dan sama-sama orang jawa seperti saya. Sebuah
kriteria yang saya rasakan konyol sekarang, namun dulu saya pikir itu wajar.
Muslimah mana yang tidak memiliki idealisme seperti itu?”
Ia melanjutkan ceritanya…
“Ada beberapa orang yang ditawarkan
oleh guru ngaji maupun oleh orang tua. Ada juga yang datang sendiri. Tetapi
semua saya tolak. Saya pikir waktu itu saya masih muda. Saya isa mengisi maa
muda saya dengan berbagai aktifitas positif sambil terus menunggu seseorang
yang mendekati kriteria yang saya inginkan. Maka saya pun mulai memperbanyak
aktifitas. Mengambil banyak kursus, mengikuti bebagai pelatihan dan aktif di
beberapa komunitas sosial kemasyarakatan.”
“Usia saya menjelang 25 tahun
ketika saya menemukan seseorang dengan kriteria seperti yang saya inginkan.
Awalnya proses kami lancar-lancar saja. Orang tuanya bahkan sudah datang
mengkhitbah ke rumah. Bahkan kita sudah akan menentukan tanggal pernikahan.
Tapi oleh alasan yang sepele, tiba-tiba orang tuanya membatalkan khitbah.
Sungguh saya shock waktu itu. Saya tak habis mengerti, apa yang salah dengan
saya, dengan dia dan dengan proses kami?”
“Cukup lama saya tenggelam dalam
kesedihan. Beberapa waktu kemudian sebenarnya banyak lagi yang mengajukan
tawaran. Tapi saya selalu membandingkan dengan mantan calon suami saya. Saya
menggunakan parameter dia untuk menilai setiap orang yang datang pada saya.
Meskipun saya tidak pernah menolak lagi orang-orang yang datang kemudian itu,
tapi entah mengapa proses selalu berakhir dengan kegagalan. Saya tak lagi
menghitung, itu sudah yang keberapa kali. Akhirnya saya kembali menenggelamkan
diri dalam aktifitas sosial dan organisasi. Saya aktif di partai. Dan saya
sempat tak lagi memedulikan masalah menikah.”
“Usia saya sudah lewat dua puluh tujuh. Justru orang-orang lain yang mulai
ribut. Orang tua terutama. Kemudian
kaum kerabat. Juga teman-teman saya. Merekalah yang kemudian menawarkan dan
mencomblangi. Saat itu saya mulai belajar dari pengalaman. Saya tak lagi
terlalu idealis. Saya menyerahkan saja kepada para perantara saya itu. Saat
mereka meminta biodata, maka saya berikan biodata saya. Saya netral saja. Kalau
diterima ya syukur, tidak diterima ya sudah. Dan ternyata nyaris semua tidak
diterima. Alasannya macam-macam. Kebanyakan bahkan saya tak sampai ketemu
mereka, sudah ditolak duluan. Saya sudah tak menghitung lagi berapa banyak
biodata yang saya buat. Rata-rata tidak kembali.”
“Usia saya sudah lewat dua puluh
delapan tahun saat saya menyadari bahwa saya harus mulai proaktif. Saya tak
lagi menyerahkan begitu saja pada nasib atau teman-teman. Saya harus mulai
mencari sendiri juga. Tentu saja tetap dengan cara-cara yang ahsan.”
“Pada usia ke-29 saya menemukan
seseorang lagi. Dia sholeh. Sederhana. Jauh dari kriteria ideal saya, tapi saya
merasa tenteram dengan menerimanya. Proses kami pun sederhana. Semuanya lancar.
Tapi…Allah berkehendak lain. Calon saya meninggal dalam sebuah kecelakaan.”
Sampai disini si Mbak
menghentikan ceritanya sejenak. Mengambil napas panjang dan menyusut sudut
mata. Aku turut terenyuh mendengarnya. Saat itu baru kulihat kabut selintas
menghiasi wajahnya.
“…Semua sudah berlalu sekarang.
Sudah nyaris dua tahun lalu. Saya mencoba bangkit lagi. Setahun terakhir, lima
proses saya jalani. Menambah 16 proses sebelumnya yang tak semuanya saya ingat
lagi. Lima proses itu saya jalani dengan lebih pasrah. Lebih lapang dada. Saya
menghargai mereka masing-masing. Saya tidak membanding-bandingkan. Saya tak
lagi menggebu, tak lagi sangat idealis…. tapi juga tak membuat saya membabi
buta, menerima siapa saja seperti membeli kucing dalam karung.”
“Satu orang gagal sebelum biodata
saya sampai kepadanya. Dia sudah lebih dulu menerima orang lain. Orang kedua,
pemuda yang biasa-biasa saja, tak mau menerima syarat saya untuk belajar ngaji
pada teman saya sesama laki-laki. Dia memaksa belajar pada saya dan mendesak
agar saya jadi pacarnya dulu. Orang ketiga, menolak karena orang tuanya tidak
mau menerima orang yang tidak sesuku dan dia ingin menuruti kehendak orang
tuanya. Orang keempat, teman saya sendiri, mengatakan kalau dia belum siap
meski tidak menolak. Orang kelima berubah pikiran di tengah proses. Tadinya dia
tidak mempermasalahkan usia saya yang lebih tua, tetapi kemudian dia mengatakan
kepada perantara saya ingin mencari yang usianya lebih muda.”
“Pengalaman-pengalaman yang saya
jalani selama ini telah memberi banyak sekali pelajaran dalam hidup saya.
1. bahwa hidup tak selalu
berjalan seperti yang kita inginkan.
2. bahwa pengalaman adalah benar-benar guru yang sangat berharga.
3. bahwa setiap orang benar-benar
memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dan mereka semua layak untuk
mendapat penghargaan sebagai seorang manusia.
4. jika saya tak dapat memperoleh apa yang
saya cintai, maka lebih baik saya mencintai apa yang saya telah saya peroleh
dan memiliki.
5. dan banyak lagi.
Intinya, jika memang bukan jodoh,
bahkan hal-hal kecil pun dapat menjadi penghalang dan penyebab gagalnya
perjodohan.”
“Kini saya merasa lebih pasrah
dan arif menyikapi hidup. Tak ada yang salah, tak ada yang ribet. Hanya waktu
yang belum tiba pada masanya. Hanya puzzle yang belum menemukan pasangannya.
Semua masih biasa saja.”
Si Mbak mengakhiri ceritanya.
Tersenyum tulus kepadaku. Aku menyambutnya. Dan kami tenggelam dalam
dekap haru. Pelukan persaudaraan. (www.baitijannati.wordpress.com)
sabar, sabar,, innalaha ma ashobirin
ReplyDeleteaamiin, menanti dalam kesabaran
ReplyDelete