Selembar surat bersampul biru muda jatuh di pangkuan Nur. Saat itu senja merona bersemburat cahaya jingga di ufuk barat. Sekelompok burung pipit terbang melintasi anjungan. Angin semilir meniup kelopak flamboyan, mahkotanya berhamburan mencium bumi.
Dulu, Nur paling benci bila dikatakan bagai flamboyan. Pohon yang tinggi tegar berbunga kecil yang mudah gugur, ibarat gadis angkuh yang mudah patah hati.
“Hush, tidak boleh mencela makhluk Tuhan.” Si Mas bilang, “Mungkin kamu memandangnya dari sudut yang berbeda. Bagi saya, flamboyan itu memberi kesejukan. Coba kalau seisi taman dipenuhi mawar. Bagaimana kita bisa duduk sambil berteduh seperti hari ini.”
Ah si Mas bisa saja. Biasanya Nur mendebat dengan berbagai argumen. Tapi ujungnya sama saja, si mas akan bilang “Saya kan tidak bilang kalau kamu seperti flamboyan.” Biasanya lagi, Nur masih memprotes juga. “Jadi maumu apa?” tanya si Mas akhirnya. “Mawar” jawab Nur. Si Mas akan tertawa. “Mau ngomong mawar kok muter-muter soal flamboyan.”
Tapi kali ini Nur tidak berminat untuk bercanda tentang flamboyan dan mawar. Selembar surat bersampul biru mengusik perhatiannya. Sudah belasan kali surat itu ia baca. Masih saja Nur tertegun mengikuti baris demi baris kalimat yang ditulisnya. Ada nafas berat yang dirasakannya dalam isi surat itu.
“Ibarat hari, saya ini sudah hampir senja dik Nur. Bukan saya tidak rela dengan takdir yang Maha Kuasa, namun saya pun sebenarnya ingin menemukan kesempurnaan dien ini dengan menjalankan yang separuhnya lagi.
Apalagi sejak bapak dan ibu berpulang, saya tidak lagi mempunyai keluarga tempat kembali. Tiada tempat berbagi, terasa hidup ini seperti luka yang menganga.”
Angan Nur melayang membayangkan sosok Kak Nurul di pedalaman, dalam kesendirian, bergulat dengan geliat masyarakat Bangkalan selama sepuluh tahun terakhir ini.
Kak Nurul yang dulu bagai sekuntum mawar merekah, lembut dan harum. Indah tanpa cela. Wanginya tertiup angin hingga ke pelosok kampus dan bilik-bilik masjid. Nur tahu banyak pria yang memandangnya di kejauhan, mengaguminya dalam diam.
Bukan sekali dua Nur terheran-heran mengapa para brothers itu tidak ada yang mau menikahinya. Apa salahnya menikahi wanita yang begitu “sempurna”. Ataukah mereka hanya berani mengaguminya dari jauh namun takut untuk memetiknya. Takut tertusuk durikah?
Apakah kepintarannya yang menjadi penghalang, konon kaum pria takut menikahi wanita yang lebih cerdas dari dirinya. Ataukah kecantikannya yang dikhawatiri mendatangkan cemburu. Atau karena pribadi agungnya yang membuat para brothers merasa ciut di hadapannya.
Mungkinkah seluruh kelebihan yang bersatu dalam sosok wanita ini membuat para aktivis da’wah pun takut, takut dengan kesempurnaannya.
“Barangkali belum jodohnya, Dik. Insya Allah kalau sudah saatnya ada juga brother yang mau meminangnya.” Begitu selalu jawaban mas Fatih, suami Nur. Namun saat yang dinantikan itu belum juga kunjung tiba. Hingga kak Nurul mendapat tawaran untuk membantu masyarakat Bangkalan, sepuluh tahun yang lalu. Iapun pergi meninggalkan kampus tempatnya mengajar. Sejak itulah mereka terpisahkan.
Nur memandangi wajah mas Fatih. Di bawah cahaya senja yang merona, …ah makin tampan saja ia dengan garis ketuaan yang mulai menggurat di wajahnya.
“Bagaimana mas ?” tanya Nur untuk ketiga kalinya. Wajah yang teduh itu tak bergeming.
“Kau serius agaknya, dik” jawabnya.
“Benar. Saya sudah lama memikirkannya” sahut Nur.
“Tapi saya bukan orang yang tepat untuk itu. Saya tidak cukup adil untuk itu.”
“Tak ada yang bisa bersikap adil kalau soal perasaan” Nur memotong.
“Secara materi, kau sendiri dan anak-anak pun lebih banyak menahan diri bukan?” si Mas balik bertanya.
“Saya insya Allah bisa membantumu. Saya bisa mengajar atau kembali seperti dulu.” Jawab Nur.
Melihat Nur bersikukuh, mas Fatih melembut, “bagaimana kalau kita istikharah dulu.” Diusapnya kain yang menutup rambut indah milik Nur.
Hari-hari pun berlalu dalam kepatuhan mengikuti hukum alam. Malam siang datang silih berganti. Makhluk Allah menapaki hidupnya di bawah naungan sunatuLlah.
Susah-senang hilang timbul bak gelombang laut, datang bergulung lalu pecah di pantai.
Satu musim lewatlah sudah. Di sebuah dini hari yang bening, Nur berjalan mengendap ke ruang kerja mas Fatih. Lampunya menyala. Berarti semalaman mas Fatih tidak tidur. Lamat-lamat terdengar suara lirih mas Fatih membaca al Qur’an. Nur beranjak mendekat, namun malang kakinya tersandung kabel lampu. Ugh ! Ia jatuh terpelanting.
Mas Fatih menghentikan bacaannya.
“Kamu nggak apa-apa dik ?” tanya mas Fatih, cemas menghampiri Nur. Yang dihampiri tersenyum menahan malu dan nyeri.
“Makanya jangan suka mengintip.” Mas Fatih menggodanya, seraya menggosok kaki Nur yang memar. Pipi Nur bersemu dadu saat mas Fatih membantunya duduk di kursi kayu.
Menarik nafas sebentar, lalu Nur membuka percakapan.
“Kompornya sudah saya siapkan, Mas. Jangan lupa sampaikan salam saya buat kak Nurul.”
Mas Fatih terdiam. Nur memandangi wajah yang senantiasa nampak ikhlas ini. Mas Fatih tersenyum lembut.
“Dik, semoga pengorbananmu yang mulia ini membawamu ke tempat terbaik di sisi-Nya. Tolong doakan agar mas mampu berbuat adil terhadapmu dan anak-anak.”
Mata Nur membasah. “Terhadap kak Nurul juga…,” ujarnya. “Saya rela,mas, janganlah khawatir. Saya tahu tidak semua wanita beruntung seperti saya, hidup di sisi orang sebaikmu.” Nur berhenti sejenak sebelum melanjutkan ucapannya, ” Membagi kemurahan Allah tidak akan mengurangi rahmat-Nya.”
Hari itu mas Fatih akan berangkat menuju Bangkalan. Dengan air mata menggenang, diciumnya kedua anaknya.
“Ayah akan kembali dalam seminggu. Jaga Bunda baik-baik.” pesan mas Fatih kepada kedua balitanya yang masih terlena dibuai mimpi. Nur memberi isyarat dengan tangannya.
“Jangan janjikan mereka dengan sesuatu yang sulit bagimu untuk memenuhinya.” ujarnya setengah berbisik.
“Saya akan memenuhinya, insya Allah” mas Fatih berbalik, menggenggam tangan Nur. Nur berjalan mengantarnya hingga pagar rumah.
“Jaga diri baik-baik ya dik,” pesan mas Fatih.
“Mas juga.” Jawab Nur. Tersenyum dengan sepenuh kerelaan hatinya.
Angin pagi memainkan pucuk-pucuk pinus, melambaikan salam perpisahan untuk gelap malam. Mentari menyeruak, mengirim kehangatan di pagi yang beku. Nur membuka hari baru dengan hati ringan. Segumpal rasa cemas dihalaunya dengan kepasrahan. Kedua buah hatinya menjadi penghibur saat sunyi terasa menggigit. Celoteh mereka saat bermain mengusir galau yang kadang menyelinap di relung hati kecilnya. Dan lagi, merawat kedua bocah ciliknya sudah cukup menyibukkannya. Anak adalah hiburan, ia adalah cahaya mata. Nur bersyukur atas karunia yang tidak setiap perempuan merasakannya.
Lalu hari pun terasa beranjak dalam tempo cepat, tiba-tiba sore sudah menjelanga. Malam kembali datang menggantikan siang. Gelap menyelimuti bumi saat hamba Tuhan melepas penatnya.
Dan Nur kembali termenung ketika anak-anak mulai terlelap.
Semoga segala sesuatunya berjalan lancar, Nur membatin. Tidak mudah berhadapan dengan kondisi masyarakat yang belum siap menerima poligami. Anggapan sebagai langkah tercela dan penghalalan bagi kaum pria yang mengumbar nafsu sudah kadung meresap dalam pikiran masyarakat. Bukan salah mereka. Kenyataannya lelaki yang beristeri lebih dari satu adalah kebanyakan mereka yang kurang bertanggung jawab, kalau bukan para pejabat yang menyeleweng.
Akibatnya banyak isteri yang tersia-sia, menderita di bawah tanggung jawab seorang lelaki.
Jadilah hukum Allah yang satu ini dianggap tidak relevan dan melukai kaum wanita. Benarkah begitu ? Lalu berapa banyak wanita malang yang tersaruk-saruk mencari pendamping sementara ratio laki-laki makin mengecil saja.
Apa yang akan terjadi bila solusi menjadi sebuah mimpi buruk di benak kaum hawa. Kak Nurul hanyalah sebuah contoh dari ribuan kasus serupa. Dan Nur merasa itu berada di dalam jangkauannya. Nur teringat pertama kali bertemu kak Nurul. Perkenalan itu bermula setelah kuliah PAI yang menghebohkan di semester pertama.
Nur sendiri sudah mendengar banyak tentang kak Nurul, assisten Farmakologi yang jelita, mantan mahasiswi teladan yang agamis dan segudang predikat top lainnya.Sementara Nur baru nongol di Universitas.
Ketika itu dalam sebuah kelas PAI, Pak RN (semoga Allah merahmati beliau), menguraikan tentang dasar-dasar syariat Islam. Dalam satu kesempatan diskusi terlontarlah pertanyaan tentang poligami.
Dengan sigap Nur mengacungkan jari memberikan suara persetujuan. Suasana mendadak hening. Karena Nur duduk paling depan, ia belum sadar apa yang terjadi. Waktu Ia rasakan kesenyapan ini lain dari biasanya, mulailah Nur mengintip kiri-kanan dan belakang.
Sadarlah Nur kalau dari enam puluh mahasiswa yang mengikuti kuliah PAI ini dialah satu-satunya yang menyetujui poligami.
Aduh mak, grogi bercampur bingung ketika itu, namun Nur tetap berusaha tegar.
Buntut dari peristiwa tersebut mudah ditebak, Nur pun jadi bulan-bulanan kawan-kawan. Di antara para cowok mulai menggoda kalau-kalau Nur mau jadi isteri keduanya. Yang mahasiswi tidak kalah sewotnya, dikatakan bahwa ia heartless, tidak punya perasaan, ngomong begitu karena belum kawin, coba kalau sudah menikah, dan masih banyak lagi bantahan mereka.
Nur sendiri berusaha untuk tetap bersikap tenang, ia katakan kalaupun mereka tidak setuju, itu tidak akan menghapus ta’addud sebagai bagian dari syariat Islam.
Peristiwa heboh itu rupanya membawa berkah tersendiri. Karuan saja kak Nurul mendatangi Nur.
“Rupanya kita punya nama panggilan yang sama ya dik,” sapanya ketika memulai perkenalan.
Nur hanya terdiam. Dalam hati, malu rasanya membandingkan diri nya dengan wanita dewasa di depannya ini. Namun kemudian terjadilah apa yang telah terjadi. Nur dan kak Nurul menjadi sepasang sahabat yang akrab. Usia bukanlah hambatan, diskusi demi diskusi tetap hidup dengan jalinan persaudaraan yang penuh makna. Di bawah pancaran cahaya fajar maupun di keremangan sinar bulan dalam tetesan air wudlu dan lantunan ayat-ayat suci, Nur merasa hidup ini begitu berarti.
Menjelang pernikahan Nur dengan mas Fatih, Nur memberanikan diri bertanya “Mengapa kak Nurul belum menikah. Bukankah usia kak Nurul lebih dari cukup?”, hari itu bertepatan dengan tiga puluh tahun usia kak Nurul.
“Jangan tanya saya, dik Nur. Siapa yang tidak ingin membangun surga di istana kecilnya “
Dan kisah malang itu sungguh terjadi. Satu demi satu brothers mundur teratur lantaran silau berhadapan dengan kak Nurul. Padahal, kurang bagaimana tawadlunya kak Nurul. Sementara itu usia kak Nurul terus beranjak, para kader muda lebih suka memilih bunga yang bisa dipetik pagi hari. Kini, siapa yang masih teringat mawar indah di senja hari. Usia kak Nurul mulai melewati empat puluh tahun. Di Bangkalan sana, ia membaktikan ilmu dan tenaganya untuk masyarakat papa. Sendiri tanpa sesiapa. Salahkah Nur bila ingin membagi kebahagiaannya dengan kak Nurul ? Dan mas Fatih, ah andai ada seribu mas Fatih di dunia ini.
“… Maukah kak Nurul menjadi kakak Nur di dunia dan akhirat?” itu adalah pertanyaan Nur di suratnya beberapa bulan yang lalu ketika mas Fatih akhirnya menyerah pada perjuangan Nur. Lama tak berbalas, hingga akhirnya jawaban didapat juga dari surat kak Nurul bulan lalu.
“…bagaimanakah mungkin saya menolak permintaan dari seorang adik yang berhati mulia Sebenarnya ada yang tidak dik Nur ketahui setelah beberapa waktu berselang ini .namun saya sepenuhnya tawakal…”
Surat terakhir kak Nurul itu ditangkapnya sebagai persetujuan. Maka berangkatlah mas Fatih pagi itu menuju Bangkalan.
****
Subuh baru saja usai. Nur bersegera melipat rukuhnya ketika bel pintu berdentang, tergopoh ia berjalan ke arah pintu. Tiba-tiba di dadanya berdebur gelombang.
Seperti saat mula pertama ia bertemu mas Fatih di rumah cinta mereka. Hari ini tepat seminggu mas Fatih berangkat. Iakah yang datang memenuhi janjinya kepada buah hati mereka ? Tiba-tiba mata Nur basah. Inikah yang namanya haru ? Ataukah cinta yang tumbuh di puncak kerelaan ? Pintu terkuak. Benar. Dia mas Fatih.
Tapi mengapa ia nampak tidak biasa. Ataukah Nur yang tiba-tiba jadi perasa. Seakan wajah mas Fatih berselimut duka. Nur ingin merangkulnya, namun terasa tangannya tertahan. Mas Fatih mengucapkan salam dengan perlahan. Nur membalasnya tak kalah pelan.
“Mas datang untuk saya atau anak-anak ?” Nur mencoba menggoda, mencairkan kebekuan.
“Untuk kita” jawab mas Fatih. Tersenyum, namun berat terasa di dada Nur. Mas Fatih menggandeng tangan Nur.
“Boleh masuk, dik?” kali ini ia yang menggoda. Nur mencolek pinggang mas Fatih, ditariknya masuk ke dalam rumah. Nur tidak berani membuka pertanyaan tentang kak Nurul.
“Saya akan ceritakan setelah mandi dan shalat subuh.” Mas Fatih seakan mengetahui isi hati Nur.
Nur hanya mengangguk sebelum beranjak ke dapur meraih secangkir teh manis buat mas Fatih.
***
“Ketika saya tiba di ujung desa.” Mas Fatih memulai ceritanya. “Ratusan penduduk berbondong-bondong ke arah tempat tinggal kak Nurul. Saya tidak menduga kalau mereka menyambut saya, saya merasa tidak pantas mendapat sambutan semeriah itu. Namun hati saya bertanya-tanya apa mungkin kak Nurul telah menceritakan rencana pernikahannya kepada masyarakat di sana …?” mas Fatih berhenti sejenak. Nur menahan nafas.
“Saat saya tiba di rumah kak Nurul yang sederhana, barulah saya menyadari wajah-wajah yang hadir menampakkan kedukaan. Sayapun bertanya apakah bisa bertemu dengan kak Nurul. Sebagian yang hadir nampak marah, salah seorang menarik kerah baju saya sambil mengepalkan tinju, untunglah dilerai oleh seorang bapak yang arif yang ternyata adalah pak lurah. Ia bertanya siapa saya dan ada perlu apa dengan kak Nurul. Saya katakan bahwa saya datang dari jauh untuk menikah dengannya. Saya calon pengantinnya. Saat itu terdengar tangis keras beberapa ibu. Pak lurah merangkul saya dan tak hentinya menggoyang bahu saya sampai akhirnya saya ditariknya ke dalam rumah. Di tengah ruangan saya dapati sebuah keranda.”
Nur tak tahan mendengar cerita mas Fatih. “Keranda siapa? Dimana kak Nurul waktu itu ?” pertanyaan Nur memburu. Mas Fatih menggenggam tangan Nur.
“Kak Nurul berada di dalam keranda itu, dik .”
“Inna liLlahi wa inna ilaihi rajiun” Jantung Nur serasa terhenti sesaat.
Nur tersentak. Batin Nur terguncang hebat. Lalu Nur tersedu. Mas Fatih mengusap kepalanya dengan air mata menitik.
“Sabarlah dik sabar”
“Apa yang telah terjadi ?” tanya Nur disela isaknya.
“Ada yang tidak kita ketahui tentang kak Nurul.” mas Fatih menjelaskan.
Tiba-tiba Nur teringat isi surat terakhir kak Nurul
….
“Sebenarnya ada yang tidak dik Nur ketahui setelah beberapa waktu berselang ini. Namun saya sepenuhnya tawakal…”
Nur teringat kalimat yang ditulis kak Nurul itu. Ia terkesiap.
“Apa yang tidak kita ketahui mas ?” tanyanya.
Mas Fatih menunduk. Jemarinya menghapus ujung sajadah yang terlipat. “Seorang perawat di puskesmas bercerita kepada pak lurah kalau kak Nurul sudah lama mengidap kanker stadium akhir, Nur, sudah metastase kemana-mana.”
“Ya Allah Saya tidak pernah tahu ” suara Nur bergetar.
“Tidak ada yang tahu, Nur, hingga menjelang kepergiannya kecuali perawat yang membantu kak Nur di klinik. Saya ikut mengantar dan menguburkan jenazah kak Nurul. Selepas itu saya menyelesaikan beberapa urusan kak Nurul di sana.
Saya juga pergi ke Surabaya ke tempat dokter yang mendiagnosis kak Nur dengan kanker payudara sejak lima tahun yang lalu.” Lunglai terasa tubuh Nur.
“Kita terlambat, mas. Saya telah melalaikannya ” Nur seakan menyesali diri.
Mas Fatih membelai kepala Nur dengan lembut.
“Tidak, sayang. Allah lah yang lebih tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya.
Insya Allah niat kita telah dicatat di buku-Nya.” ujar mas Fatih. “Semoga Allah membalas amal shalih kak Nurul dengan sebaik-baiknya. Masyarakat Bangkalan mencintai kak Nurul karena keikhlasannya membantu mereka .” Mas Fatih berhenti sejenak. Dirogohnya secarik kertas dari kantung tas pinggangnya.
“Ini ada surat dari mbak Ririn, perawat itu.”
Nur membuka surat yang diberikan mas Fatih, “Salam hormat untuk keluarga Bu Nurul. Ia adalah jiwa yang berbahagia.”
Air mata Nur berhamburan. Ia kehilangan mawar senja yang hampir dipetiknya di pekarangan cinta mereka sang Pencipta telah menyuntingnya di taman surga abadi.
…Mawar senja gugur kelopaknya
wangi tersisa di pagi bening
Sesosok cinta menebar air surga
kembali ke bumi, menuju Dia yang abadi
Dalam duka, hati Nur penuh doa. Semoga tempatmu
terbaik di sisi-Nya, oh kak Nurul.
Satu hal ia tahu pasti, beribu kak Nurul di bumi ini,
namun hanya ada satu mas Fatih
Note: subhanalloh, setelah membaca cerpen mb Ema kayai ini aku jadi berfikir, hmm.. mungkinkah ada wanita setegar Nur dengan sepenuh hati merelakan suaminya demi membantu nurul,benar-benar pengorbanan yang mulia! dan adakah wanita setabah Nurul yang dengan sabar menanti jodohnya#potret sebuah kesabaran sejati# dan adakah orang sekuat fatih yang rela menuruti kemauan istrinya demi menolong saudarinya, bukan untuk nafsu!!
sungguh sebaik-baik rencana manusia jauh lebih baik rencana Allah, Yup, Allah tlah memenuhi janjinya, Jodoh, Maut dan rezeki tlah diaturnya bahkan sebelum kita dilahirkan. sekarang aku tambah yakin bahwa janji Allah itu PASTI!^^
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungannya, silahkan koment :D