Siapa yang tak kenal ASMA NADIA, penulis terkenal lebih dari 50 judul
buku dalam 8 tahun terakhir. Beberapa karyanya seperti Jilbab Traveller,
Maryam Mah Kapok, Catatan Hati di Setiap Sujudku, serta
serial Aisyah Putri. beliau salah satu penulis favorit saya. membaca biografi beliau yang luar biasa membuat saya tertarik untuk membaginya di postingan ini. ternyata beliau pun juga merasakan pengalaman saat pertama kali hidayah menyapanya. Dan setelah membacanya sayapun jadi semakin yakin bahwa tak ada halangan apapun ketika kita berjalan diatas koridor yang benar, menegakkan syariat islam. justru sebaliknya malah Allah akan memberi kemudahan-kemudahan yang tak terduga bagi hambaNya yang tetap bertahan dalanm keistiqomahan.
Berikut ceritanya...
Saya pakai jilbab
pada detik-detik terakhir kelas 3 SMP. Waktu itu sempat juga mikir… apakah
nantinya ruang gerak bakal terbatasi dengan jilbab? Apa ada hal-hal yang
menjadi lebih sulit ketika saya berjilbab? Apalagi salah satu mimpi saya
keliling dunia… entah uangnya dari mana, harus punya pekerjaan apa, atau harus
menikah dengan siapa (hehehe…) agar mimpi itu terwujud.
Maklum saya berasal dari keluarga sangat sederhana, yang selama dua puluh tahun di Jakarta, mengontrak dari rumah kecil yang satu ke rumah kecil lain, makan pas-pasan… segala sesuatu serba ngepas. Mengingat kondisi itu, jalan ke luar negeri seperti mimpi yang terasa jauh. Apalagi saya bukan remaja yang punya ‘kutukan’ kaya, alias dari sananya memang sudah kaya. Misal punya ortu kaya, kakek ama neneknya juga kaya… terus kakeknya kakek sama neneknya nenek juga kaya banget, hehehe. Intinya kalangan mapan yang nggak pernah susah.
Nah mimpi jalan-jalan ke luar negeri itu bermula dari pintu kulkas.
Iya, serius… cuma dari pintu kulkas, terutama pintu kulkas almarhumah Oma yang dulu tinggal di Bandung, terus pintu kulkas sanak saudara yang kaya, sampai pintu kulkas tetangga satu gang, yang tinggal di sebuah rumah besar di huk.
Nah, di pintu kulkas mereka bertaburan magnit souvenir dari berbagai negara. Saya suka sekali melihat souvenir kecil dengan gambar-gambar khas, yang menempel di pintu kulkas mereka. Saking sukanya saya sering berlama-lama memandangi. Cuma memandang saja tanpa berani menyentuh. Takut jika saya coba ambil dan lihat dari dekat, malah terlepas dari tangan, lalu terjatuh dan pecah. Saya nggak punya duit jajan yang cukup untuk menggantinya. Apalagi souvenir seperti itu biasanya memang dibeli langsung dari negara asalnya (meski sekarang banyak buatan Cina). Nggak kebayang kalau harus ganti. Dan pastinya saya nggak mau nyusahin orang tua hanya gara-gara menuruti keinginan yang nggak penting itu.
Ketika saya lulus SMA dan diterima kuliah melalui jalur PMDK, wah bahagia betul. Nggak pakai ikut sipenmaru (sebutan tes masuk ke perguruan tinggi negeri kala itu), saya sempat merasakan masa-masa indah kuliah di IPB. Masa-masa di mana mimpi saya bersinar lebih terang.
Tapi kuliah saya ternyata tidak bisa selesai karena satu dan lain hal. Tentang ini kapan-kapan saya ceritakan di buku yang lain yah. Yang jelas bukan karena drop out dari kampus, apalagi karena otak saya yang lemot. Kenyataan ini sempat membuat mimpi saya meredup. Kalau nggak kuliah… terus gimana caranya saya bisa ke luar negeri, dong?
Apalagi saya kurang yakin akan mendapatkan suami kaya, hehehe. Soalnya ya itu lagi… kembali ke ‘kutukan’. Biasanya orang-orang kaya hanya menikah dengan orang-orang yang memang memiliki ‘kutukan’ sama. Ada sih beberapa pengecualian. Tapi mengingat tampang dan penampilan saya yang biasa aja dan jauh dari bening, terus kali di utan panjang yang airnya hitam banget. Hihihi… apa hubungannya coba?
Soal kali yang airnya hitam itu, nggak sih … seumur hidup saya belum ngalamin berenang di sana. Dan ini penting ditegaskan demi nama baik saya di depan anak-anak. Hihihi… soalnya adik saya, Aeron pernah meledek begini ketika suatu hari kami melewati kali utan panjang, “Nah, di kali yang item dan butek inilah bunda dulu sering berendam dan berenang ke sana kemari!” Sopan banget!
Kembali ke soal calon suami, ya begitu deh. Saya harus membuang kemungkinan punya suami yang memiliki kutukan kaya. Saking terasa impossible-nya. Nah tapi… kalau yang rajin bekerja terus pintar nyari uang… yah ini mungkin masih bisa dipilih-dipilih… (hehehe… udah kayak pedagang di kaki lima aja…).
Apa kalau kepepet, jadi TKW aja? Saking penginnya ke luar negeri, pikiran begitu sempat terlintas juga. Tapi gimana kalau nanti saya ditaksir majikan? Hihihi…ge er amat!:P
Atau yang lebih buruk dapat majikan kejam? Bisa-bisa pulang cuma badan doang alias nyawa selembar tertinggal di negeri orang. Sedihnya!
Anyway, setelah nggak kuliah, saya ambil sekolah guru TK. Makin jauh dong dari impian… apalagi waktu itu gaji guru TK minus banget. Saya sempat ngobrol sama seorang guru TK, dia suami dan bapak dari tiga anak. Sebagai guru, gajinya di tahun 95-an itu hanya seratus dua puluh ribu. Ampun, kepala keluarga gitu lho… berat banget! Saya salut sama komitmennya juga teman-teman guru lain yang tetap mengajar meski secara materi tidak sepadan.
Selain guru TK, saya sempat juga belajar bahasa Arab. Bukan khusus untuk persiapan kali-kali bekerja ke luar negeri, melainkan biar lebih paham pas membaca Al Qur’an. Terus saya juga ambil les Bahasa Inggris di beberapa kursus. Lumayanlah, pikir saya. Ada harapan dikit. Belum sampai ke Amerika atau Inggris, paling nggak saya bisa dikit-dikit ngomong Inggris, hehehe. Pokoknya ada inggris-inggrisnya aja waktu itu, saya udah girang banget.
Lalu saya menikah dengan lelaki dari keluarga sederhana, yang harus membiayai kuliahnya sendiri. Satu lagi bukti keakuratan tebakan saya soal saya nggak bakalan konek sama kalangan yang punya kutukan kaya tadi. Paling nggak itu membuktikan saya cukup tahu diri (halah!:P)
Pendek cerita, sebagai pasangan muda, kami sangat hemat masalah uang. Lebih-lebih waktu krisis. Bisa makan sehari-hari plus beli susu buat Caca aja udah bagus… boro-boro mikir jalan-jalan ke luar negeri.
Tapi mimpi yang nyaris terlupakan menemukan bentuk ketika suatu hari suami membawa pulang sebuah kulkas satu pintu. Kecil, tapi membangkitkan lagi semangat untuk mengejar mimpi. Bayangan souvenir-souvenir magnit di beberapa pintu kulkas yang saya eja waktu kecil, kembali menari-nari di kepala.
Selain kulkas, ‘perabot’ yang terbilang mewah bagi saya saat itu adalah sebuah komputer yang dibeli suami dengan memaksa diri, sebab tahu saya suka menulis. Dulu saya menulis dengan mesin tik pinjaman, lalu mesin tik milik sendiri. Dengan bantuan mesin tik itu saya sempat mengirimkan beberapa tulisan ke majalah dan mengikuti lomba, pernah menang juga.
Setelah menikah agak sulit bagi saya untuk berdisiplin menulis dengan mesin tik. Sebab seringkali tulisan tidak selesai dalam satu waktu. Sementara membiarkan kertas-kertas bertebaran dekat mesin tik, juga tidak aman dari tangan-tangan Caca. Apalagi rumah kontrakan ketika itu, tidak memiliki banyak kamar.
Tetapi keberadaan komputer itu membuat saya lebih rajin menulis. Meski dulu kesannya menulis merupakan pekerjaan yang nggak terlalu menjanjikan, kalau nggak bisa dibilang sulit diandalkan untuk menghidupi dapur. Tapi mungkin karena saya seorang istri, saya melakukannya bukan atas nama kewajiban mencari nafkah… tapi lebih karena hobi. Apalagi keluarga mendukung, mereka membantu agar saya tetap menulis.
Begitulah, kalau anak-anak tidur, saya menulis. Menunggui Caca main, saya menulis. Ketika anak-anak lapar… ya saya suapin dong, hehehe.
Tanpa saya sadar… upaya terus memproses diri lewat bidang yang satu ini, meski waktu tidur atau istirahat sering berkurang, justru di kemudian hari mengantarkan mimpi saya menjadi kenyataan.
Allah memperjalankan saya… awalnya ke Brunei, lalu ke Thailand, Singapore, Malaysia, Korea… Mesir, Hongkong, Beijing, Macau dll. Negara dan kota-kota yang awalnya hanya saya lihat di peta, di koran, majalah, atau televisi. Hampir semuanya gratis! Alhamdulillah.
Keliling dunia? Memang belum. Tapi saya masih optimis.
Dan alhamdulillah, jilbab bukan hambatan bagi saya untuk mengembara di bumi-Nya yang luas. Tentu saja ada kondisi-kondisi tertentu yang kadang harus diperhatikan. Apalagi jika berjalan sendiri. Idealnya memang kita didampingi suami, atau saudara. Tetapi dalam situasi dan kondisi sekarang, seringkali kesempatan traveling datang kepada perseorangan. Dan merupakan tiket langka dan mahal untuk belajar tentang kebudayaan, sejarah dan peristiwa di masa lalu maupun kekinian.
Selain mudah-mudahan bisa juga menjadi awal dari sebuah mimpi. Mimpi apa saja. Sebab konon, mimpi merupakan setengah perwujudan dari keinginan seseorang. Seperti magnit di pintu kulkas yang saya pandangi lekat-lekat. Dulu sekali…
Maklum saya berasal dari keluarga sangat sederhana, yang selama dua puluh tahun di Jakarta, mengontrak dari rumah kecil yang satu ke rumah kecil lain, makan pas-pasan… segala sesuatu serba ngepas. Mengingat kondisi itu, jalan ke luar negeri seperti mimpi yang terasa jauh. Apalagi saya bukan remaja yang punya ‘kutukan’ kaya, alias dari sananya memang sudah kaya. Misal punya ortu kaya, kakek ama neneknya juga kaya… terus kakeknya kakek sama neneknya nenek juga kaya banget, hehehe. Intinya kalangan mapan yang nggak pernah susah.
Nah mimpi jalan-jalan ke luar negeri itu bermula dari pintu kulkas.
Iya, serius… cuma dari pintu kulkas, terutama pintu kulkas almarhumah Oma yang dulu tinggal di Bandung, terus pintu kulkas sanak saudara yang kaya, sampai pintu kulkas tetangga satu gang, yang tinggal di sebuah rumah besar di huk.
Nah, di pintu kulkas mereka bertaburan magnit souvenir dari berbagai negara. Saya suka sekali melihat souvenir kecil dengan gambar-gambar khas, yang menempel di pintu kulkas mereka. Saking sukanya saya sering berlama-lama memandangi. Cuma memandang saja tanpa berani menyentuh. Takut jika saya coba ambil dan lihat dari dekat, malah terlepas dari tangan, lalu terjatuh dan pecah. Saya nggak punya duit jajan yang cukup untuk menggantinya. Apalagi souvenir seperti itu biasanya memang dibeli langsung dari negara asalnya (meski sekarang banyak buatan Cina). Nggak kebayang kalau harus ganti. Dan pastinya saya nggak mau nyusahin orang tua hanya gara-gara menuruti keinginan yang nggak penting itu.
Ketika saya lulus SMA dan diterima kuliah melalui jalur PMDK, wah bahagia betul. Nggak pakai ikut sipenmaru (sebutan tes masuk ke perguruan tinggi negeri kala itu), saya sempat merasakan masa-masa indah kuliah di IPB. Masa-masa di mana mimpi saya bersinar lebih terang.
Tapi kuliah saya ternyata tidak bisa selesai karena satu dan lain hal. Tentang ini kapan-kapan saya ceritakan di buku yang lain yah. Yang jelas bukan karena drop out dari kampus, apalagi karena otak saya yang lemot. Kenyataan ini sempat membuat mimpi saya meredup. Kalau nggak kuliah… terus gimana caranya saya bisa ke luar negeri, dong?
Apalagi saya kurang yakin akan mendapatkan suami kaya, hehehe. Soalnya ya itu lagi… kembali ke ‘kutukan’. Biasanya orang-orang kaya hanya menikah dengan orang-orang yang memang memiliki ‘kutukan’ sama. Ada sih beberapa pengecualian. Tapi mengingat tampang dan penampilan saya yang biasa aja dan jauh dari bening, terus kali di utan panjang yang airnya hitam banget. Hihihi… apa hubungannya coba?
Soal kali yang airnya hitam itu, nggak sih … seumur hidup saya belum ngalamin berenang di sana. Dan ini penting ditegaskan demi nama baik saya di depan anak-anak. Hihihi… soalnya adik saya, Aeron pernah meledek begini ketika suatu hari kami melewati kali utan panjang, “Nah, di kali yang item dan butek inilah bunda dulu sering berendam dan berenang ke sana kemari!” Sopan banget!
Kembali ke soal calon suami, ya begitu deh. Saya harus membuang kemungkinan punya suami yang memiliki kutukan kaya. Saking terasa impossible-nya. Nah tapi… kalau yang rajin bekerja terus pintar nyari uang… yah ini mungkin masih bisa dipilih-dipilih… (hehehe… udah kayak pedagang di kaki lima aja…).
Apa kalau kepepet, jadi TKW aja? Saking penginnya ke luar negeri, pikiran begitu sempat terlintas juga. Tapi gimana kalau nanti saya ditaksir majikan? Hihihi…ge er amat!:P
Atau yang lebih buruk dapat majikan kejam? Bisa-bisa pulang cuma badan doang alias nyawa selembar tertinggal di negeri orang. Sedihnya!
Anyway, setelah nggak kuliah, saya ambil sekolah guru TK. Makin jauh dong dari impian… apalagi waktu itu gaji guru TK minus banget. Saya sempat ngobrol sama seorang guru TK, dia suami dan bapak dari tiga anak. Sebagai guru, gajinya di tahun 95-an itu hanya seratus dua puluh ribu. Ampun, kepala keluarga gitu lho… berat banget! Saya salut sama komitmennya juga teman-teman guru lain yang tetap mengajar meski secara materi tidak sepadan.
Selain guru TK, saya sempat juga belajar bahasa Arab. Bukan khusus untuk persiapan kali-kali bekerja ke luar negeri, melainkan biar lebih paham pas membaca Al Qur’an. Terus saya juga ambil les Bahasa Inggris di beberapa kursus. Lumayanlah, pikir saya. Ada harapan dikit. Belum sampai ke Amerika atau Inggris, paling nggak saya bisa dikit-dikit ngomong Inggris, hehehe. Pokoknya ada inggris-inggrisnya aja waktu itu, saya udah girang banget.
Lalu saya menikah dengan lelaki dari keluarga sederhana, yang harus membiayai kuliahnya sendiri. Satu lagi bukti keakuratan tebakan saya soal saya nggak bakalan konek sama kalangan yang punya kutukan kaya tadi. Paling nggak itu membuktikan saya cukup tahu diri (halah!:P)
Pendek cerita, sebagai pasangan muda, kami sangat hemat masalah uang. Lebih-lebih waktu krisis. Bisa makan sehari-hari plus beli susu buat Caca aja udah bagus… boro-boro mikir jalan-jalan ke luar negeri.
Tapi mimpi yang nyaris terlupakan menemukan bentuk ketika suatu hari suami membawa pulang sebuah kulkas satu pintu. Kecil, tapi membangkitkan lagi semangat untuk mengejar mimpi. Bayangan souvenir-souvenir magnit di beberapa pintu kulkas yang saya eja waktu kecil, kembali menari-nari di kepala.
Selain kulkas, ‘perabot’ yang terbilang mewah bagi saya saat itu adalah sebuah komputer yang dibeli suami dengan memaksa diri, sebab tahu saya suka menulis. Dulu saya menulis dengan mesin tik pinjaman, lalu mesin tik milik sendiri. Dengan bantuan mesin tik itu saya sempat mengirimkan beberapa tulisan ke majalah dan mengikuti lomba, pernah menang juga.
Setelah menikah agak sulit bagi saya untuk berdisiplin menulis dengan mesin tik. Sebab seringkali tulisan tidak selesai dalam satu waktu. Sementara membiarkan kertas-kertas bertebaran dekat mesin tik, juga tidak aman dari tangan-tangan Caca. Apalagi rumah kontrakan ketika itu, tidak memiliki banyak kamar.
Tetapi keberadaan komputer itu membuat saya lebih rajin menulis. Meski dulu kesannya menulis merupakan pekerjaan yang nggak terlalu menjanjikan, kalau nggak bisa dibilang sulit diandalkan untuk menghidupi dapur. Tapi mungkin karena saya seorang istri, saya melakukannya bukan atas nama kewajiban mencari nafkah… tapi lebih karena hobi. Apalagi keluarga mendukung, mereka membantu agar saya tetap menulis.
Begitulah, kalau anak-anak tidur, saya menulis. Menunggui Caca main, saya menulis. Ketika anak-anak lapar… ya saya suapin dong, hehehe.
Tanpa saya sadar… upaya terus memproses diri lewat bidang yang satu ini, meski waktu tidur atau istirahat sering berkurang, justru di kemudian hari mengantarkan mimpi saya menjadi kenyataan.
Allah memperjalankan saya… awalnya ke Brunei, lalu ke Thailand, Singapore, Malaysia, Korea… Mesir, Hongkong, Beijing, Macau dll. Negara dan kota-kota yang awalnya hanya saya lihat di peta, di koran, majalah, atau televisi. Hampir semuanya gratis! Alhamdulillah.
Keliling dunia? Memang belum. Tapi saya masih optimis.
Dan alhamdulillah, jilbab bukan hambatan bagi saya untuk mengembara di bumi-Nya yang luas. Tentu saja ada kondisi-kondisi tertentu yang kadang harus diperhatikan. Apalagi jika berjalan sendiri. Idealnya memang kita didampingi suami, atau saudara. Tetapi dalam situasi dan kondisi sekarang, seringkali kesempatan traveling datang kepada perseorangan. Dan merupakan tiket langka dan mahal untuk belajar tentang kebudayaan, sejarah dan peristiwa di masa lalu maupun kekinian.
Selain mudah-mudahan bisa juga menjadi awal dari sebuah mimpi. Mimpi apa saja. Sebab konon, mimpi merupakan setengah perwujudan dari keinginan seseorang. Seperti magnit di pintu kulkas yang saya pandangi lekat-lekat. Dulu sekali…
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungannya, silahkan koment :D