Tidakkah
cita-cita ku ini terdengar mulia ayah? Ketika setiap orang tua begitu mendambakan nya, sementara ayah? Tidakkah ayah menginginkannya juga?
Ah..kata-kata ini tercekat di kerongkongan tatkala ingin di utarakan, ya karena
dikalahkan oleh buliran putih bergerombol yang dengan sekejap tumpah ruah
membentuk anak-anak sungai. Mungkin karena memori salah menyampaikan pesan ke
otak hingga apa yang dihasilkan tak sesuai dengan apa yang di perintahkan atau
bisa jadi ada elemen lain yang menolak kata-kata tersebut terucap dari bibirnya
seakan-akan ada yang menghalangi dan mengatakan, Jangan!!.
Malam tlah hampir setengahnya,
dingin nya menjalar hingga ke tulang bersamaan dengan irama hujan yang
terdengar monoton, Hujan awet menambah bekunya malam itu hingga para manusia
seakan berlomba menarik selimut meringkuk untuk menghilangkan bekunya. Yup
lomba tidur bolehlah mendapat penghargaan karena merupakan kompetisi yang tak akan
pernah ada habisnya dan akan terus berlangsung setiap malam dan di ikuti oleh
semua manusia di dunia dengan titik finalnya adalah pulau kapuk. Hanya saja
malam itu ada satu penduduk yang tak juga berada di posisi start, gadis itu
masih terduduk di depan meja belajarnya, mata sendunya terlihat sama sekali tidak
mengantuk menatap sebuah kertas yang telah lusuh, hmm sepertinya catatan yang
telah usang dimakan oleh waktu. Tangan
kanannya sibuk memainkan pulpen yang sedari tak juga digunakan untuk menulis
meski hanya setitik.
Memorinya
kembali mendarat di kejadian selepas isya tadi, disaat ayah memanggilnya dan
babak pertama drama korea pun dimulai disaat suara bariton itu terdengar
–-iqah, maaf ayah tak mengizinkanmu ke pondok saat ini, mengingat kau baru saja
lulus Sekolah ada baiknya kau teruskan kuliahmu di kota ini saja nak- ucap ayah
panjang lebar.
Gadis
tersebut termangu beberapa saat dan menanti kata-kata selanjutnya, namun
ternyata tak ada, kata-kata itu sudah final rupanya. Ayahpun kembali meraih
kacamatanya dan kembali membuka buku khutbah jumat yang ada di atas meja. wajah ceria itu seketika mendung seperti ada
awan hitam yang bergelayut di kelopak matanya.
Memang
saat ini pilihan untuk ke pondok lebih dia inginkan ketimbang melanjutkan
kuliah, hal itu pun telah ia utarakan pada ayah dan ibu beberapa minggu yang
lalu bersamaan dengan hasil tes yang ia ikuti bersama sahabat-sahabatnya
beruntung namanya tercantum sebagai santri penerima beasiswa tahfidcz quran
disalah satu pondok di pusat kota. Ia tak menyangka ayah akan menolak
kesempatan langka ini hanya dengan alasan-alasan yang menurutnya kurang bisa di
terima.
Beberapa detik, menara impian yang selama
ini ia bangun dengan susah payah seolah-olah hancur karena pondasi yang tidak
kuat. Memang ia tidak punya pondasi untuk menjawab perkataan ayah yang sesungguhnya
tidak butuh jawaban itu.
Ayah selama ini kan aku ikuti kemauan ayah,
aku tak pernah membantah ayah, tapi kenapa untuk permintaan aku yang satu ini
ayah tak bisa penuhi”?
ujarnya dengan air mata yang menetes, Deras!
Ntah tiba-tiba keberanian apa yang
membuat ia berani mengeluarkan kalimat lugas seperti itu padahal selama ini tak
pernah sedikitpun ia pernah membantah ayah dan ibunya.
Ayah terkejut dengan ungkapannya
barusan, “ jadi, selama ini kamu tidak
ikhlas menjalankannya”. Jawab ayah dengan nada agak sedikit emosi .
Sudah
ikuti ayah jika ”. Jawab ayah lagi
ia tak
bisa menjawab namun segera berlari menuju kamar dan mengunci pintu meski
sayup-sayup masih terdengar suara ayah dari luar kamar.
(Bersambung) “
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungannya, silahkan koment :D