Hampir setiap malam ‘Umar bin Khaththab melakukan perjalanan diam-diam. Ditemani salah seorang sahabatnya, beliau keluar masuk kampung. Ini beliau lakukan untuk mengetahui kehidupan rakyatnya. ‘Umar khawatir jika ada hak-hak mereka yang belum dipenuhi oleh staf pemerintahannya.
Malam itu, bersama Aslam, Khalifah ‘Umar mengarungi kampung terpencil yang berada di tengah gurun sepi. Tiba-tiba beliau terperanjat. Dari sebuah kemah yang sudah rombeng, terdengar suara gadis kecil menangis keras. ‘Umar bin Khaththab dan Aslam bergegas mendekati kemah itu, untuk mengecek bila penghuninya membutuhkan bantuan.
Setelah dekat, ‘Umar melihat seorang perempuan tua tengah menanakkan panci di atas tungku. Asap mengepul-ngepul dari panci itu, sementara si ibu terus mengaduk-aduk isi panci dengan sendok kayu panjang.
“Assalaamu’alaykum,” ‘Umar memberi salam.
Mendengar salam ‘Umar, ibu itu mendongakkan kepalanya seraya menjawab salam ‘Umar. Tapi setelah itu, ia kembali pada pekerjaannya mengaduk-aduk isi panci.
“Siapakah gerangan yang menangis di dalam itu?” tanya ‘Umar.
Dengan sedikit tak acuh, ibu itu menjawab, “Anakku…”
“Apakah ia sakit?”
“Tidak,” jawab si ibu lagi. “Ia kelaparan.”
‘Umar dan Aslam tertegun. Mereka masih tetap duduk di depan kemah sampai lebih dari satu jam. Gadis kecil itu masih terus menangis. Sedangkan ibunya terus mengaduk-aduk isi panic di atas api.
‘Umar tidak habis pikir, apa yang sedang dimasak oleh ibu itu? Lama betul matangnya. Kebingungan, Khalifah ‘Umar bertanya, “Apa yang sedang kau masak, hai ibu? Kenapa tidak matang-matang juga masakanmu itu?”
Ibu itu menoleh dan menjawab, “Hmm, kau lihatlah sendiri!”
‘Umar dan Aslam segera menjenguk ke dalam panci tersebut. Kaget bin kaget keduanya terbelalak melihat apa yang ada di dalam panci. ‘Umar berteriak, “Apakah kau memasak batu?”
Si ibu mengangguk.
“Buat apa?”
Dengan suara lirih, ibu itu menjawab, “Aku memasak batu-batu ini untuk menghibur anakku. Inilah kejahatan Khalifah ‘Umar bin Khaththab. Ia tidak mau melihat ke bawah, apakah kebutuhan rakyatnya sudah terpenuhi belum. Aku seorang janda. Sejak pagi, aku dan anakku belum makan apa-apa. Jadi ia kusuruh berpuasa, dengan harapan ketika waktu berbuka kami mendapat rejeki. Namun ternyata tidak. Sesudah maghrib tiba, makanan belum ada juga. Anakku terpaksa tidur dengan perut kosong. Aku mengumpulkan batu-batu kecil, memasukkannya ke dalam panci dan kuisi air. Lalu batu-batu itu kumasak untuk membohongi anakku, dengan harapan ia akan tertidur lelap sampai pagi. Ternyata tidak. Mungkin karena lapar, sebentar-sebentar ia bangun dan menangis minta makan.”
Setelah menjelaskan panjang lebar, ibu itu terdiam sejenak. Kemudian ia melanjutkan, “Namun apa dayaku? Sungguh ‘Umar bin Khaththab tidak pantas jadi pemimpin. Ia tidak mampu menjamin kebutuhan rakyatnya!”
Mendengar penuturan si ibu, Aslam berniat menegur perempuan itu. Namun Khalifah ‘Umar sempat mencegah. Dengan air mata berlinang beliau bangkit dan mengajak Aslam cepat-cepat pulang ke Madinah. Tanpa istirahat lagi, ‘Umar segera memikul gandum di punggungnya, untuk diberikan kepada janda tua nan sengsara itu.
Karena ‘Umar bin Khaththab terlihat keletihan, Aslam berujar, “Wahai Amirul Mukminin, biarlah aku yang memikul karung itu…”
Dengan wajah merah padam, ‘Umar menjawab sebat, “Aslam, jangan jerumuskan aku ke dalam neraka. Engkau akan menggantikan aku memikul beban ini, apakah kau kira engkau akan mau memikul beban di pundakku ini di hari pembalasan kelak?”
Aslam tertunduk. Tersuruk-suruk Khalifah ‘Umar berjuang memikul karung gandum itu. Angin berhembus. Membelai tanah Arab yang dilanda paceklik.
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungannya, silahkan koment :D